25 May 2012

Lara (2), Kecintaan pada Tuhan Menguatkannya Berjilbab

Kamis, 24 Mei 2012, 21:17 WIB
Lara (2), Kecintaan pada Tuhan Menguatkannya Berjilbab
Wanita Muslim (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Menyelami kehidupan sebagai muslimah, membuat Lara mulai memahami bahwa Islam bukanlah agama buatan manusia. Islam adalah kebenaran. Yang menarik, Lara mengambil satu kesimpulan dimana setiap bayi yang lahir ke dunia sebenarnya adalah muslim.


"Awalnya aku tidak tahu bahwa Islam itu adalah universal tidak hanya milik masyarakat Timur Tengah. Alhamdulillah, semakin banyak pengetahuan yang aku dapat tentang Islam, aku semakin percaya bahwa Islam adalah agama yang logis," paparnya.

Lara pun kian mantap untuk menerima Islam, dan hidup sebagai muslima. Ia pun tak ragu untuk mengucapkan dua kalimat syahat. "Alhamdulillah, aku mengucapkan syahadat tak lama sebelum ramadhan. Aku seolah tak sabar untuk melaksanakan puasa pertama," kata dia.

Usai bersyahadat, ia segera menjalankan kewajibannya sebagai muslim. Ia laksanakan shalat dan puasa. Ia kaji Alquran dan hadist. Tak berselang lama, Lara mulai mengenakan jilbab.

Lara mengaku di awal-awa merasa belum siap untuk berjilbabTapi rasa cintanya kepada Allah SWT membuat ia kuat untuk mengenakan jilbab. "Tak mudah memang mengambil langkah itu," katanya.

Ia tak memungkiri rrasa hawatir akan menerima perlakuan buruk dari orang lain, terutama keluarga. Karena itu, Lara tak langsung melainkah berlatih mengenakan jilbab. Ia hanya kenakan jilbab saat menuju masjid guna menghadiri pengajian. Perlahan, Lara mulai mengenakan jilbab secara permanen.

"Ada satu hari dimana aku akhirnya tidak bisa lagi keluar ruangan dengan kepala tanpa tertutup kain. Aku sadar, itu akan membuat orang lain heran. Tapi aku tidak mungkin menyenangkan setiap orang," kata dia yang setelah memakai jilbab, Lara merasa lengkap menjadi seorang muslim.

Yang membuat heran Lara, sebagian masyarakat Kanada kerap berkomentar soal jilbab. Padahal mereka tahu, bahwa para pelayan Gereja ada pula yang mengenakan tutup kepala. Namun, tiada ada seorang pun warga Kanada yang memprotes hal itu.

Semenjak itu, Lara pun mulai mendalami Islam. Ia belajar bahasa Arab dengan harapan mempermudahnya membaca Alquran. "Insya Allah, aku terus berjuang untuk menjadi muslimah yang saleh. Aku mulai dengan melawan sifat jahat dalam diri. Tentu tidak mudah, karena membutuhkan usaha yang terus menerus tanpa akhir," pungkasnya.

Redaktur: Ajeng Ritzki Pitakasari
Reporter: Agung Sasongko

Lara (I), Mantan Atheis Ini Dulu Protes Saat Islam Dipojokkan

Kamis, 24 Mei 2012, 20:13 WIB
Guardian
Lara (I), Mantan Atheis Ini Dulu Protes Saat Islam Dipojokkan
Wanita Muslim Berdoa

REPUBLIKA.CO.ID, OTTAWA - Gadis keturunan Skandinavia ini lahir  dan besar di Kanada. Ia tumbuh dalam keluarga yang tidak pernah berafiliasi dengan agama apapun. "Aku dulu seorang Atheis," ungkapnya.

Namun, menginjak remaja ia mulai untuk mempercayai adanya Tuhan. Meski demikian, ia menolak untuk berafiliasi dengan agama apapun. "Aku bahkan tidak tertarik dengan ajaran Kristen," ucapnya.

Seiring perjalanan waktu, tepatnya semasa kuliah, Lara mulai bersinggungan dengan Islam. Ia berkenalan dengan beberapa mahasiswa Muslim yang berada di Kanada. Dari situlah, ia mulai belajar tentang Islam. Meski, bukan berarti Lara tertarik untuk mulai menerima agama.

Sikapnya yang keras akhirnya melunak, tatkala ia membaca artikel media tentang Islam. Saat itu, ia merasa pemberitaan terhadap umat Islam tergolong keterlaluan. "Aku sempat mengirimkan beberapa artikel ke sejumlah media. Jujur, aku membela Islam," kata dia.

Dari pembelaan itu, Lara mulai kembali untuk mengenal lebih dekat tentang Islam. Ia pun meminta kepada teman kuliahnya yang muslim guna mendapatkan buku tentang Islam. "Aku merasa apa yang dituliskan media banyak kekeliruan. Apa yang aku baca kian memperlihatkan kebenaran tentang Islam," kata dia.

Tak hanya lewat buku, Lara pun belajar tentang Islam secara langsung lewat koleganya yang muslim. Lara merasakan kenyamanan tanpa ada tekanan terhadapnya.

Saat itulah, Lara mulai berperilaku layaknya seorang muslimah. Ia tidak lagi mengkonsumsi alkohol dan babi. Ia juga tidak lagi berpakaian mencolok . "Aku hanya memakan daging halal, tidak mengenakan riasan berlebih, dan berpakaian serba tertutup," ungkapnya.

Redaktur: Ajeng Ritzki Pitakasari
Reporter: Agung Sasongko
Sumber: Watpadd.com

24 May 2012

Mualaf Sumaya, Kagum dengan Rasionalitas Alquran (2-habis)

Rabu, 23 Mei 2012, 18:32 WIB
Blogspot.com
Mualaf Sumaya, Kagum dengan Rasionalitas Alquran (2-habis)
Mualaf (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON – Di sini, kata Sumaya, tidak ada konsekuensi dari apa yang diperbuat. Jadi, seolah anak manja yang menuntut hak untuk melakukan hal sesukanya.


Menuntut Tuhan untuk menerima perilaku keji. "Jadi, tidak mengherankan apabila penjara kita penuh dengan penjahat, dan orang tua sulit untuk mengontrol anak-anaknya," kata dia

Sumaya mengatakan konsep itu bertolak belakang dengan Islam. Dalam Islam, hidup itu adalah pilihan. Seorang Muslim akan masuk surga apabila ia menjadi seorang yang baik. Demikian pula sebaliknya.

"Dalam Alquran, Nabi Muhammad SAW mengatakan pada kita bahwa seorang Muslim akan masuk surga atas rahmat Allah atau perbuatan baik," ucapnya.

Pada fase ini, Sumaya penuh dengan rasa bimbang. Ia berusaha keras untuk tidak memikirkan hal itu. Tetapi, ia tidak mau terjebak dalam keyakinan yang tidak dapat dipahami.

"Aku benar-benar frustasi. Aku sebenarnya bosan dengan kondisi di mana aku tidak tahu kepada siapa harus menyembah. Aku belum mampu menerima Muhammad," kata dia.

Namun, hal itu tidak berlangsung lama setelah sumaya diberikan Alquran terjemahan. Ia selalu mencari kesalahan dan mempertanyakan Alquran. Nyatanya, semakin dibaca, Sumaya kian yakin bahwa Alquran ini merupakan sumber kebenaran. Sumaya mendapatkan pula jawab tentang kepada siapa ia harus menyembah.

"Aku mulai menangis. Aku menangis untuk ketidaktahuan masa laluku. Aku kagum pada pengetahuan ilmiah dalam Alquran. Aku sangat terkesan dengan deskripsi proses embriologis yang dijelaskan dalam Alquran, dan banyak lagi. Aku pun menerima Islam sebagai agamaku," pungkasnya.

Redaktur: Chairul Akhmad
Reporter: Agung Sasongko
Sumber: Texas Muslim

Mualaf Sumaya, Ragu Soal Trinitas (1)

Rabu, 23 Mei 2012, 17:17 WIB
Blogspot.com
Mualaf Sumaya, Ragu Soal Trinitas (1)
Mualaf (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON – Tanpa terasa, tujuh tahun sudah Sumaya Fannoun memeluk Islam. Sebelum itu, ia adalah penganut Kristen.

Seiring perjalanan waktu, ia mulai mempertanyakan beragam keganjilan dalam keyakinan Kristen. Saat itulah, ia memutuskan untuk mencari kebenaran hakiki, meski harus menghadapi pergulatan batin yang keras dalam dirinya.

"Aku sebenarnya tahu bahwa kristen adalah agama yang tidak sempurna, tapi saat itu aku percaya bahwa Kristen adalah yang terbaik untukku," kata dia.

Sumaya sadar ada beberapa bagian dalam Alkitab yang meragukan. Seperti pada satu bagian dikatakan Yesus harus berkorban untuk dosa-dosa manusia. "Aku juga meragukan masalah trinitas. Aku tidak paham mengapa Allah itu ada tiga. Salah satu darinya menciptakan bumi, satu  lagi menanggung dosa kita, lalu satu Allah yang lain roh," ungkapnya.

"Dari pemahaman itu, aku justru membayangkan seorang pria kulit putih dengan jenggot dan bermata biru menggenakan jubah. Ia berjalan di atas awan. Untuk roh kudus, aku membayangkan ia seorang mahluk berkabut yang tidak memiliki tujuan hidup," tambah dia.

Ia pun melihat terlalu banyak mitologi Yunani yang masuk dalam ajaran Kristen. "Salah satunya soal manusia setengah dewa. Aku pun bermasalah dengan materi Alkitab Perjanjian Lama dan Baru. Aku selalu berpikir dari Sepuluh Perintah Allah secara jelas bahwa ada pelanggaran yang dilakukan saat kita menyembah Yesus," paparnya.

Keganjilan lain, kata Sumaya, ada semacam jaminan bahwa manusia bakal masuk surga tanpa perlu melakukan apa pun, sebab Allah akan menanggung setiap kesalahan yang dilakukan manusia. "Jadi apa insentif yang kita peroleh ketika menjadi sosok yang baik di saat hal buruk memiliki banyak kesenangan," kata dia.


Redaktur: Chairul Akhmad
Reporter: Agung Sasongko
Sumber: Texas Muslim

22 May 2012

William Suhaib Webb: Mualaf yang Menjadi 500 Muslim Berpengaruh di Dunia (2)

Senin, 21 Mei 2012, 20:46 WIB
.
William Suhaib Webb: Mualaf yang Menjadi 500 Muslim Berpengaruh di Dunia (2)
William Suhaib Webb

REPUBLIKA.CO.ID, Pada usia 14 tahun, krisis keyakinan dalam diri Webb menjelma pada ketidakpercayaan pada agama yang dipeluknya, dan mulai terlibat kenakalan dan bergabung dengan sebuah geng lokal. Ia juga menjadi seorang DJ hip-hop dan produser lokal yang sukses, serta melakukan rekaman bersama sejumlah artis.

Namun demikian, dengan semua itu, Webb mengaku tak bahagia. "Aku sukses secara materiil, namun secara interal merasa kosong," katanya. Kekosongan itu membuatnya kerap merasa tertekan dan sedih. "Padahal hidupku dikelilingi uang, perempuan, klub, dan geng yang hebat. Semua berjalan dengan baik,' katanya.

Setelah masuk Islam, Webb meninggalkan karirnya di dunia musik yang telah menghidupinya itu. Ia mengikuti gairahnya menyelami dunia pendidikan. Setelah memperoleh gelar sarjananya di University of Central Oklahoma, ia berguru intensif mengenai ilmu-ilmu Islam dari seorang ulama terkenal berdarah Senegal.

Lalu, sejak 2004 hingga 2010, Webb mendalami Islam di Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar Kairo. Selama periode tersebut, setelah beberapa tahun belajar bahasa Arab dan hukum Islam di sana, ia menjadi kepala Departemen Penerjemahan Inggris di Darul Iftah al-Misriyyah. Di luar disiplin ilmu yang ditekuninya, Suhaib menyelesaikan hafalan Alqurannya di Makkah, dan telah mendapatkan sejumlah ijazah (lisensi yang menunjukkan standar keulamaan yang tinggi).

Kini, Suhaib Webb adalah Muslim Amerika yang juga dikenal sebagai pendidik, aktivis, dan dosen. Karya-karyanya menjembatani pemikiran Islam klasik dan kontemporer. Ia membidik isu-isu relevansi budaya, sosial, dan politik bagi kelangsungan Muslim di Barat.

Webb juga diminta menjadi imam di Komunitas Islam Oklahoma, di mana ia rutin memberikan khutbah, mengajar kelas-kelas agama, dan menjadi konselor bagi keluarga dan pemuda Muslim di sana. Di luar itu, ia menjadi imam dan pemuka agama bagi komunitas-komunitas di seluruh penjuru AS.

Webb pernah menggalang dana sebesar 20.000 dollar AS untuk janda dan anak-anak pemadam kebakaran yang tewas dalam serangan 11 September. Sebagai mualaf, Webb mengaku hidup di tengah masyarakat non-Muslim di AS bukan hal yang mudah. Di tengah kecurigaan dan islamofobia di kalangan masyarakat AS, ia bertekad untuk terus menunjukkan citra Islam yang sesungguhnya dan menciptakan kehidupan beragama yang harmonis.

Selain itu, Webb telah memberikan kuliah di berbagai belahan dunia termasuk Timur Tengah, Asia Timur, Eropa, Afrika Selatan, dan Amerika Utara. Sepulangnya dari Mesir, ia tinggal di wilayah Teluk, Kalifornia, di mana ia bekerja bersama Komunitas Muslim Amerika sejak musim gugur 2010 hingga musim dingin 2011.

Belum lama ini, ia menerima sebuah posisi sebagai imam Pusat Budaya Komunitas Islam Boston (masjid terbesar di wilayah New England) hingga ia memutuskan untuk membawa keluarganya ke Boston dan menetap di sana.

Pada 2010, Royal Islamic Strategic Studies Center memasukkannya ke dalam daftar 500 Muslim Paling Berpengaruh di Dunia. Dan laman situs internetnya, www.suhaibwebb.com, terpilih sebagai "Blog of The Year" terbaik setahun sebelumnya.

Redaktur: Heri Ruslan
Reporter: Devi Anggraini Oktavika

William Suhaib Webb: Mualaf yang Menjadi 500 Muslim Berpengaruh di Dunia (1)

Senin, 21 Mei 2012, 20:30 WIB
.
William Suhaib Webb: Mualaf yang Menjadi 500 Muslim Berpengaruh di Dunia (1)
William Suhaib Webb

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Devi Anggraini Oktavika

Kakeknya adalah seorang pengkhutbah gereja. Dari ceramah-ceramah sang kakek, ia mengetahui banyak hal tentang Kristen. "Aku bukan orang yang tidak mengenal agamaku dengan baik. Aku mengenalnya, tidak menerimanya, dan kemudian tidak mempercayainya."

                                                                                 ***

Cucu sang pengkhutbah gereja itu bernama William Webb. Saat berusia 20 tahun, ia memperlengkap namanya menjadi William Suhaib Webb sebagai penanda identitas barunya. Ia resmi menjadi Muslim setelah tiga tahun gamang dengan agamanya.

"Aku pergi ke gereja tiga kali seminggu. Dan aku juga membaca Bibel," katanya saat diwawancarai dalam program islami independen "The Deen Show". Meski bukan umat Kristen yang taat, Webb mengaku mengetahui banyak hal tentang Kristen dari aktivitas keagamaan yang dilakukannya, serta dari ceramah kakeknya.

Ia menuturkan, sejak masih muda Webb telah merasa tak mampu mencerna informasi dan ajaran agamanya tentang Trinitas. "Bahwa Tuhan ada tiga atau bahwa ia adalah satu dari tiga." Selain itu, dari kitab suci yang dibacanya, Webb menemukan dua tuhan berbeda dari kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. "Sejak itu, aku tidak bisa lagi mempercayai ajaran agamaku," ujarnya.

                                                                                 ***

Webb lalu mendatangi ibunya dan bertanya tentang Yesus Anak Tuhan yang mati untuk menebus dosa-dosa umatnya. "Aku bertanya apakah itu inti dari penebusan dosa. Ia (ibuku) menjawab 'Ya'." Tak puas, Webb mengejar dengan pertanyaan lainnya. "Lalu bagaimana dengan para Nabi yang diutus sebelum Yesus? Tak satupun dari mereka percaya pada ketuhanan Yesus."

Pada titik itu, Webb mengetahui bahwa para nabi, terutama Ibrahim dan Musa yang disebutkan dalam Alkitab, berdoa dan menyembah satu tuhan. "Bahkan Yesus sendiri tidak pernah mengatakan dirinya Tuhan, dan dia juga berdoa pada Tuhannya," katanya.

Tak mendapat jawaban dari sang ibu, Webb memulai pencariannya. Tiga tahun lamanya pria kelahiran 1972 ini membaca Alquran, kitab yang banyak didengarnya dari khutbah kakeknya. Selain itu, hal lain yang mendorongnya mendekati Alquran adalah stigma positif tentang Islam kala itu.

"Tidak seperti sekarang, pada masa itu kami (masyarakat AS) berpikiran bahwa para Muslim adalah orang-orang yang benar." Bahkan, katanya, ada pendapat yang mengatakan bahwa siapapun yang ingin menjadi orang benar dan lurus, ia harus bergaul dengan Muslim.

                                                                                  ***

Dalam Islam, Webb menemukan jawaban atas segala pertentangannya terhadap ajaran agama terdahulunya. Ketika diminta menjelaskan tentang Allah, Webb mengatakan Allah adalah satu Dzat yang unik. "Karena ia tak menyerupai apapun dan siapapun. Wa lam yakullahuu kufuwan ahad."

"Karena itu, Allah tidak mungkin punya anak. Jika Ia beranak, maka Ia menyerupai makhluknya." Mengenai dosa warisan, Webb tegas menjawab Islam hanya percaya pada fitrah yang dibawa manusia sejak lahir. "Konsep dosa warisan itu tidak adil, sedangkan Allah bukan Dzat Yang tidak adil," tegasnya.

Redaktur: Heri Ruslan
Reporter: Devi Anggraini Oktavika
Sumber: berbagai sumber

18 May 2012

Shariffa Carlo, dari Benci Berubah Cinta Islam

Rabu, 16 Mei 2012, 17:15 WIB
flickr
Shariffa Carlo, dari Benci Berubah Cinta Islam
Cinta Islam (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON--Sebaik-baiknya manusia berencana, Allah Yang Maha Besar yang menentukan. Demikian benang merah kisah perkenalan Shariffa Carlo dengan Islam. "Aku tahu seluk beluk tentang Islam. Tapi saat itu, aku memiliki agenda untuk menghancurkan Islam," kenang Sharifa.

Keterlibatan Shariffa dalam kelompok anti Islam boleh dibilang tidak sengaja. Saat itu, anggota kelompok itu melihat bakat dan kemampuannya seperti keahlian berdiplomasi dan menguasai isu-isu Islam dan Timur Tengah. "Orang itu lalu berkata padaku jika bergabung maka ada jaminan aku akan bekerja di kedutaan besar AS di Mesir. Dia ingin aku pergi kesana untuk berbicara dengan muslimah dan mendorong gerakan terkait hak-hak perempan," kata dia.

Saat itu, Shariffa melihat tawaran itu sungguh menarik. Belum lagi, hal yang diperjuangkan adalah perempuan. Sharifa paham betul, muslimah adalah individu tertindas. Tentu, niatan dirinya untuk membantu perjuangan para muslimah menjadi besar. "Aku ingin membawa mereka pada kebebasan," ucapnya.

Sebagai bekal pendekatan terhadap muslimah, Shariffa mulai mendalami Alquran dan sejarah Islam. Ia juga belajar bagaimana memutarbalikan fakta dalam Alquran untuk tujuan tertentu. Shariffa pun menyadari apa yang dilakukannya itu kian mendekatkan dirinya dengan Islam. "Aku mulai tertarik, tapi aku coba untuk menahan ketertarikan itu dengan mempelajari ajaran Kristen secara mendalam," kata Shariffa.

Niatan itu dilakukannya. Ia minta seorang teolog lulusan Harvard untuk menjadi pembimbingnya. Namun, pembimbingnya itu justru sosok yang meragukan sejumlah kepercayaan dalam kristen seperti masalah Trinitas dan kenabian Yesus.

"Diawal aku merasa ditangan yang benar, tapi ternyata profesor ini seorang yang percaya bahwa Yesus adalah seorang Nabi," kenang dia.

Shariffa pun kembali mencari penolakan atas kebenaran ini dengan mengkaji kembali isi alkitab berbahasa Yunani dan Ibrani. Ternyata, ia menemukan hal yang mengejutkan. Apa yang ia baca serupa dengan apa yang dipelajarinya.Kepercayaannya terhadap Kristen runtuh seketika. "Aku saat itu tidak bisa menerimannya, aku tetap memaksakan bahwa Kristen yang benar. Aku tidak siap menerima kebenaran Islam," katanya.

Seiring berjalannya waktu, pergulatan dalam diri Shariffa berakhir. Ia mulai untuk menerima secara perlahan kebenaran tentang Islam. Sebuah agama yang dahulu ia pergunakan  untuk menyebarkan pesan kebencian. Ia pun mulai banyak berdiskusi dengan muslim.

Suatu hari, Shariffa bertemu dengan sekelompok muslim yang tengah berkunjung. Entah mengapa, Shariffa begitu berkeinginan kuat untuk bertemu dengan mereka. Ia pun terlibat diskusi tentang Islam dan Kristen. "Aku tidak lagi bisa membohongi kebenaran nyara. Aku tahu itu kebenaran sejati. Aku lalu mengambil keputusan, Alhamdulillah, aku ingin menjadi seorang muslim," kenangnya haru.

"Saat aku bersyahadat dihadapan Allah SWT, seketika aku merasakan betapa beban dalam diriku hilang seketika. Aku begitu bahagia, dan merasa bersyukur dapat menjalani sisa hidup untuk menjadi muslim," pungkasnya

Redaktur: Hafidz Muftisany
Reporter: Agung Sasongko

14 May 2012

Ali Akbar: Ayahku Dibunuh Karena Memeluk Islam (Bag 4-habis)

Sunday, 13 May 2012, 08:53 WIB
Republika/AGUNG SUPRIYANTO
Ali Akbar: Ayahku Dibunuh Karena Memeluk Islam (Bag 4-habis)
Mualaf: Ali Akbar

REPUBLIKA.CO.ID, Berbekal status mualaf, Luis Monteiro kembali gamang. Ia sadar, di lingkungannya, keislamannya tak mungkin berkembang. Ia pun memutuskan meninggalkan barak dan rumahnya menuju Dili. "Kepergianku yang tanpa sepengetahuan keluargaku dilepas oleh tentara yang mengislamkanku. Ia memelukku dan menangis," tutur Ali.

Sampai di kota, ia menemukan sebuah yayasan Islam. Karena tak berbekal ijazah dan surat keterangan dari desa, Ali ditolak. "Meminta surat keterangan dari desa sama saja cari mati," katanya. Ia pulang dan tak mampu berbuat banyak. Ali bahkan tak tahu bagaimana menjalankan shalat lima waktu yang telah menjadi kewajibannya.

Suatu hari, ia memutuskan kembali berangkat ke Dili dan mendatangi yayasan yang sama. "Aku memaksa pihak yayasan untuk mengizinkanku belajar di sana, meski aku tidak diizinkan mengikuti pendidikan formal." Ali mendapatkan izin itu. Di sana, ia belajar shalat dan membaca Alquran.

Kesempatan itu tidak lama, karena pertolongan yang lebih besar dari Allah menghampirinya. Ustaz yang pernah menolaknya di yayasan tersebut mengantarkannya ke Jawa untuk mendalami Islam di sebuah pesantren di Jawa Timur. Keberangkatannya itu terjadi pada 1998.

Namun pertolongan besar itu terjadi setelah Allah terlebih dahulu menguji Ali. Setelah berhasil mengislamkan kedua orang tuanya pada 1997, ia harus kehilangan ayahnya yang tewas dibunuh orang-orang yang tidak suka dengan keislamannya.

"Beliau wafat pada hari Jumat di bulan Ramadhan," ujar Ali seraya mengambil nafas panjang. Ia lalu menghentikan sejenak ceritanya. "Aku tidak akan pernah bisa melupakan itu."

Pada kesempatan lainnya, Ali berhasil mengislamkan pula ketiga adiknya dan memboyong mereka ke Jawa. Salah seorang diantaranya kini tengah menempuh studi di Madinah. Ali sendiri memutuskan untuk mendalami Alquran di Perguruan Tinggi Ilmu Alquran (PTIQ).

Tahun ketiga di perguruan Alquran tersebut, Ali melengkapi studi Alqurannya dengan mendalami bahasa Arab di Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA) sejak 2010 hingga sekarang.

Kini, sambil terus memperdalam keislamannya, Ali membimbing sejumlah mualaf di pesantren khusus mualaf Yayasan An-Naba' Center di Ciputat, Tangerang. Setelah menyelesaikan semua studinya nanti, Ali akan kembali ke Makasar dan bersama istrinya mengelola sebuah pesantren yang ia rintis bersama kakak iparnya.

Redaktur: Heri Ruslan
Reporter: Devi Anggraini Oktavika

Ali Akbar: Dari Barak Militer, Aku Mengenal Islam (Bag 3)

Minggu, 13 Mei 2012, 07:53 WIB
Republika/AGUNG SUPRIYANTO
Ali Akbar: Dari Barak Militer, Aku Mengenal Islam (Bag 3)
Mualaf: Ali Akbar

REPUBLIKA.CO.ID, Di buku itu, Ali menemukan kejutan lain. "Ada kata 'jemaah' (ejaan lama untuk kata 'jamaah'), sama dengan nama gerejaku; Jemaat. Lagi-lagi aku didekatkan pada Islam melalui hal-hal yang kukenal." Ia juga menemukan kata "derajat" dalam buku itu, menjelaskan pahala orang yang shalat berjamaah.

Ali muda yang tidak bisa mendiamkan hal itu pun bertanya pada kakak iparnya tentang arti dan makna 'derajat'. Ia juga menanyakan imbalan bagi jemaat gereja jika mereka melakukan segala sesuatu yang diperintahkan Tuhan. "Ia hanya menjawab bahwa belum waktunya aku menanyakan perkara itu."

Tidak puas, sekembalinya ke barak, ia bertanya pada salah seorang tentara Muslim tentang arti derajat, juga tentang pengertian shalat dan berjemaah. Darinya, Ali mengerti bahwa shalat adalah sembahyang, derajat berarti nilai, dan jemaah adalah bersama-sama.

Ketika tentara itu sampai pada penjelasan tentang pahala shalat berjamaah, Ali segera dihinggapi perasaan kagum. "Semakin baik amalan dilakukan, semakin tinggi nilai imbalannya. Itu ajaran yang hebat," katanya.

Ali kembali mendatangi kakak iparnya dengan sebuah pertanyaan yang sama; imbalan yang akan diperolehnya jika ia menjalankan semua yang diperintahkan Tuhan. Tak ada jawaban yang memuaskan Ali. Dan diskusi yang berlangsung hampir semalaman itu berakhir dengan pertengkaran keesokan paginya.

Diskusi tersebut membawa Ali pada kesimpulan yang tak diharapkannya. Ia segera teringat keterlibatannya sebagai anggota militer non-formal kala itu. "Aku tidak digaji, tidak memiliki jaminan hidup, dan jika harus mati, aku akan mati secara konyol. Tidak seperti para tentara formal yang digaji oleh pemimpin tertinggi mereka."

"Harus seperti itukah posisiku dalam beragama jika Tuhan tidak memberikan imbalan apapun atas amalan umatnya? Jadi, apakah agama hanya untuk orang-orang tertentu?" Ali berontak. Ia semakin geram ketika tahu mereka yang bersekolah mendapatkan nilai dari guru atas hasil kerja dan prestasi mereka di sekolah. "Bagaimana mungkin Tuhan tidak memberiku imbalan sedikitpun atas amal baikku? Apa manfaat sembahyangku selama ini?"

                                                                      ***

Ketika otaknya masih menyimpan berbagai pertanyaan yang belum terjawab, suatu hari Ali menemukan buku kecil berjudul "UUD 1945" di barak. Ia membacanya dan menemukan pasal yang menjelaskan tentang kebebasan beragama. Ia juga menemukan daftar lima agama yang diakui di Indonesia dalam buku Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), di mana Islam berada di urutan pertama.

"Sebelum membaca itu, yang kutahu dari gereja adalah bahwa agama hanya satu, yakni agama kami. Maka pada detik setelah aku membaca itu, aku mulai meragukan agamaku."

Hingga kemudian, Ali menemukan sebuah Alquran Terjemahan terbitan Departemen Agama milik seorang tentara. Ia membukanya secara acak dan menemukan terjemahan yang berbunyi "Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanya Islam (QS. Ali 'Imron: 19)." Ali pun tersentak.

Ketika di rumah, ia bermaksud mencari ayat serupa dalam Al-Kitab. Dua bulan membacanya, Ali tak menemukan kalimat dengan redaksi yang serupa dengan kalimat dalam Alquran yang dibacanya di barak. "Tak ada ayat yang mengatakan bahw aKristen adalah satu-satunya agama yang diterima di sisi Tuhan," katanya.

Pada kesempatan lainnya, di surah yang sama pada ayat 85, Ali menemukan kalimat yang berbunyi "Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi." Ali kembali menelusuri kalimat-kalimat Al-Kitab untuk menemukan kalimat serupa. Pencariannya kembali nihil.

Sebaliknya, ia justru menemukan ayat-ayat yang tidak sesuai dan bertolak belakang. "Seperti ayat yang menjelaskan tentang Yesus," ujarnya. Sebagian ayat, kata Ali, menyebutnya sebagai anak Tuhan, sementara ayat yang lain menyebutnya anak Abraham.

Tak hanya kitab suci, Ali membaca buku Biologi untuk SMP. Membaca bab reproduksi, Ali dengan mudah menyimpulkan bahwa laki-laki tidak melahirkan. Doktrin bahwa Yesus adalah anak Tuhan pun mulai mengganggu logikanya. "Yesus tidak seharusnya dinasabkan pada Tuhan karena Tuhan tidak punya istri," ia mendebat dalam hati.

"Atau, Tuhan itu perempuan? Jika ya, maka Ia adalah Maryam. Namun bukankah Maryam sudah mati? Lalu siapa yang mengatur alam semesta sejak ia mati? Dan jika memang manusia seperti Maryam layak dijadikan Tuhan, mengapa manusia tidak menuhankan Adam, manusia pertama di bumi?"

Semua pertanyaan krusial itu mendorong Ali untuk mendatangi seorang pastor berkebangsaan Filipina yang ditugaskan di Timor Timur. Olehnya, Ali dinasihati agar datang ke gereja jika ingin bertemu Tuhan. "Aku tidak membantah, namun juga tidak membenarkannya. Jika Tuhan yang ia maksud adalah patung Yesus dan Bunda Maria, itu bukan yang kucari," katanya.

Pertanyaan dan pergulatan batin yang melelahkan itu membawa Ali pada keraguan yang semakin besar pada agamanya. Hingga pada suatu hari pada 1995, ia merasa harus mengakhirinya dengan sebuah keputusan memilih Islam. Kepada tentara yang menjelaskannya pengertian 'jemaah' dan 'derajat,' Ali menyampaikan keinginannya.

Tentu, berpindah agama bukanlah perkara ringan di Timor Timur yang dirundung konflik kala itu. Dan atas pertimbangan keamanan, tentara itu menjelaskan risiko yang mungkin dihadapi Ali jika ia meninggalkan agamanya dan menjadi Muslim. "Katanya, aku bisa diusir, dibuat cacat, bahkan dibunuh akibat keputusan itu. Ia memintaku memikirkan kembali keputusanku untuk memeluk Islam."

Tak ingin membiarkan dirinya gamang berkepanjangan, Ali kembali mendatangi tentara yang sama untuk diislamkan. "Tahun 1996, tapi aku lupa tanggal dan bulannya," ujarnya. Disaksikan oleh tiga orang tentara, Luis Monteiro bersyahadat. Di barak militer itu, ia resmi menjadi seorang Muslim.

Redaktur: Heri Ruslan
Reporter: Devi Anggraini Oktavika

Ali Akbar: Dari Barak Militer, Aku Mengenal Islam (Bag 2)

Minggu, 13 Mei 2012, 07:18 WIB
Republika/AGUNG SUPRIYANTO
Ali Akbar: Dari Barak Militer, Aku Mengenal Islam (Bag 2)
Mualaf: Ali Akbar


Seolah tak terima, otak Ali kembali dipenuhi tanda tanya. Ia mempertanyakan mengapa simbol itu tidak terdapat di gereja yang menjadi tempat ibadah hampir seluruh masyarakat Timor Leste. "Aku benar-benar ingin tahu mengapa simbol kami itu justru terdapat di tempat ibadah umat lain (Muslim)."

Seorang pria keturunan Arab yang dikenalnya mengatakan pada Ali, bahwa sebelum Portugal datang, Timor Leste telah dihuni oleh orang Islam. "Menurutnya, simbol bulan sabit adalah peninggalan orang-orang Islam pada masa itu," ujarnya. Ali menyimpan jawaban itu dalam pikirannya.

Tak lama berselang, pertanyaan serupa kembali berputar di kepala Ali. Ia melihat kesamaan antara alat musik tabuh khas Timor Leste, tebe-tebe (bentuknya seperti seperti bedug, namun berukuran kecil), dengan bedug yang pernah diihatnya di masjid. Juga antara ritual baptis dengan amalan wudhu yang dilakukan oleh Muslim sebelum shalat. "Aku merasa seolah ada kedekatan antara adat kami dengan budaya Islam," katanya.

Ali lalu menghampiri ayahnya dan mengutarakan rasa ingin tahunya. "Ayah hanya menjelaskan bahwa sebagian dari adat kami adalah peninggalan sekelompok orang yang tidak makan babi. Belakangan aku baru tahu bahwa mereka (yang tidak makan babi) adalah orang-orang Islam."

                                                                          ***

Hingga usia 20-an, Ali tak pernah mengenyam bangku sekolah. Terlahir dari dua orang tua yang tidak mengenal baca-tulis, dan sebagai anak laki-laki yang memiliki tiga orang adik, Ali harus mengutamakan adik-adiknya. Terlebih, ketika mulai diberlakukan wajib militer, Ali harus meninggalkan rumah dan tinggal di barak. "Kami dilatih untuk menjadi tenaga bantuan operasi militer. Semacam sukarelawan, karena kami tidak digaji."

Aturan yang semakin menjauhkannya dari bangku sekolah itu tak sepenuhnya ia sesali. Karena justru di lingkungan militer itu Ali mengenal huruf dan angka serta baca-tulis.

Segera setelah mampu membaca, meski masih terbata-bata, Ali tergerak untuk mengetahui isi Al-Kitab. Ketika pulang ke rumah suatu hari, ia meminjam Injil milik kakak iparnya dan mencoba membacanya. Di barak, ia juga memiliki bacaan lain. "Buku cetakan 1975 terbitan Thoha Putra. Judulnya Tuntunan Shalat Lengkap," jelas Ali.

REPUBLIKA.CO.ID, Pada tahun yang sama, Allah membimbing Ali pada potongan puzzle lainnya. Di tanah kelahirannya, bulan sabit adalah sebuah simbol adat. "Setiap rumah adat Timor Leste selalu memiliki simbol bulan sabit di bagian atapnya. Di saat yang sama, aku mengenalnya pula sebagai simbol masjid," katanya.
Redaktur: Heri Ruslan
Reporter: Devi Anggraini Oktavika

Ali Akbar: Dari Barak Militer Aku Mengenal Islam (Bag 1)

Minggu, 13 Mei 2012, 07:08 WIB
Republika/AGUNG SUPRIYANTO
Ali Akbar: Dari Barak Militer Aku Mengenal Islam (Bag 1)
Mualaf: Ali Akbar

REPUBLIKA.CO.ID,  Konflik Timor Leste mewarnai perjalanan hidupnya, juga pertemuannya dengan Islam. Bertahun-tahun lamanya, remaja bernama Luis Monteiro seolah menyusun pecahan puzzle yang tak pernah ia tahu gambar utuhnya. Tak sia-sia, setelah tujuh tahun, semua hal membingungkan itu membawanya pada satu jawaban; Islam.

Terlahir di wilayah konflik tentu bukan keinginannya. Namun boleh jadi, itulah satu hal yang disyukurinya kini. Ali Akbar, 'penyusun puzzle' itu, kini telah hidup dalam kedamaian Islam. "Ceritanya panjang," ujarnya kepada Republika. Ali memulai kisahnya.

                                                              ***

Ali masih mengingatnya dengan baik. Dua puluh tiga tahun yang lalu, ia adalah seorang Kristiani yang rajin mengunjungi gereja. Ia adalah satu dari delapan orang bersaudara dan tinggal di dalam sebuah rumah yang memiliki simbol bulan sabit. Seorang yang tak pernah menempuh pendidikan formal hingga usia 20-an, dan menghabiskan masa remajanya di barak militer.

Sebuah peristiwa di tengah masa itu mengawali segalanya. Ali dikejutkan oleh aksi Paus Yohanes Paulus II, ketika pemimpin gereja Katolik Roma itu berkunjung ke Jakarta pada 1989. "Setelah turun dari pesawat, ia sempat bersujud," kata pria kelahiran 1973 itu.

Pemandangan yang disaksikannya melalui satu-satunya televisi nasional kala itu, katanya, segera memunculkan sesuatu yang aneh dalam hati dan pikirannya. "Terlintas pertanyaan besar dalam benakku, mengingat doktrin gereja yang sampai padaku menyebut Yohanes sebagai Tuhan. Jika ia memang Tuhan, lalu kepada siapa ia bersujud?" lanjutnya.

Ali berpendapat, sujud adalah ekspresi ketundukan seorang hamba pada Dzat yang besar dan agung serta lebih berkuasa darinya. Ali pun mulai mulai mencurigai dan mempertanyakan doktrin-doktrin gereja yang telah diterimanya. Lalu ia mulai mencoba melakukan pembangkangan dengan caranya.

Ali menjelaskan, salah satu doktrin gereja lainnya mengatakan bahwa setiap umat Katolik yang bertemu Paulus harus mencium tangannya. "Jika tidak, ia akan mati atau memperoleh akibat yang fatal," ujarnya. Maka ketika Paulus II berkesempatan mengunjungi Timor Leste (saat itu Timor Timur), Ali memutuskan untuk 'mencoba' tidak menyalami sang Paulus.

"Sampai tahun 1990, semua aman. Tidak ada hal fatal yang terjadi, dan itu membuatku semakin ingin tahu tentang kebenaran ajaran agamaku," katanya.

Redaktur: Heri Ruslan
Reporter: Devi Anggraini Oktavika

11 May 2012

Perempuan Penghina Nabi itu Dapat Penghargaan Jurnalisme


 

Kamis, 10 Mei 2012

Hidayatullah.com--Penulis dan mantan politisi Belanda, Ayaan Hirsi Ali, yang pernah dianggap menghina Nabi Muhammad  dikabarkan akan menerima Penghargaan Axel Springer Jerman, Kamis (10/05/2012) ini.

Hirsi Ali akan mendapat penghargaan dari sekolah Jurnalisme Axel Springer. Meski bukan wartawan, sekolah jurnalisme itu menyebut Hirsi Ali layak mendapatkan penghargaan karena "perjuangan tanpa komprominya dengan hak-hak wanita Muslim." Organisasi juga mengatakan Hirsi Ali lugas mengatakan hal-hal berani bahkan jika hal ini menempatkan keselamatannya sendiri dalam bahaya, demikian tulis RNW, Kamis (10/05/2012).

Selain akan menerima penghargaan, Hirsi Ali juga akan diberikan uang sejumlah 25 ribu Euro. Penulis Belanda, Leon de Winter akan berbicara pada upacara penghargaan. Ayaan Hirsi Ali saat ini tinggal di Amerika Serikat di mana dia bekerja pada tim strategi (think tank) konservatif.

Ayaan Hirsi Ali, adalah perempuan asal Somalia, yang dipuja-puji Barat karena dianggap beran "menyerang" Islam. Ia bahkan memperoleh berbagai fasilitas, sampai-sampai bisa menjadi anggota Parlemen Belanda.

Belakangan karena dianggap menggunakan data palsu, perempuan kelahiran 1969 di Mogadishu itu akhirnya  pindah dari Belanda ke Amerika. Ia diterima dengan tangan terbuka oleh the American Enterprise Institute, lembaga tink-tank milik kelompok neo-conservative (neo-con) di Washington. Institut yang tergabung dalam lobi Israel ini dulu paling getol berkampanye menyerang Iraq, kini menyerang Iran, Suriah, atau Pakistan.

Ia menerbitkan buku Infidel (Kafir), yang mengisahkan kisah hidupnya yang ia tulis sendiri (Free Press, 2007). Namun, lembaga ini mengikuti saja digunakan Hirsi untuk menyerang Islam. Yang jelas, sejak itu, Ayaan kaya dan ke mana-mana selalu mendapatkan pengawalan.*

Rep: Panji Islam
Red: Cholis Akbar

10 May 2012

Dawood Al-Brittani: Kisah Gugurnya Mualaf Inggris dalam Perang Bosnia (Bag 2-habis)

Rabu, 11 April 2012, 14:26 WIB
blogspot
Dawood Al-Brittani: Kisah Gugurnya Mualaf Inggris dalam Perang Bosnia (Bag  2-habis)
Dawood Al-Brittani

REPUBLIKA.CO.ID,  Malam sebelum Dawood gugur di medan pertempuran, ia sempat bermimpi. Dalam mimpi tersebut, ia berjalan di antara dua sisi istana yang sangat besar dan megah.

Ia sempat bertanya " Siapakah pemilik Istana yang megah ini ?"

"Inilah milik salah seorang syuhada" begitulah jawaban dari mimpinya itu.

Dawood bertanya lagi, "Dimanakah istana milik Abu Ibrahim?" Abu Ibrahim adalah salah seorang teman dekat Dawood yang berkebangsaan Turki. Mereka dahulu bersama-sama datang dari Inggris. Abu Ibrahim ditembak mati oleh PBB Prancis didekat Bandara Sarajevo.

Suara dalam mimpi Dawood tersebut menjawab " Istana Abu Ibrahim ada di sana".

Dalam mimpi itu Dawood berlari menuju rumah teman dekatnya Abu Ibrahim. Dalam berlari itu ia terjatuh hingga ia bangun dari tidurnya kemudian menceritakan mimpinya.

Komandannya Abul Haristh sudah menduga bahwa Dawood mungkin akan gugur di medan pertempuran berikutnya setelah mendengar cerita mimpi Dawood. Mungkin saja ia akan segera menyusul sahabatnya Abu Ibrahim, karena ia ceritakan dalam mimpinya bahwa ia berlari menuju Istana Abu Ibrahim.

Keesokan harinya Dawood terlibat dalam sebuah operasi militer melawan Pasukan Kroasia. Dawood tertembak tepat di jantungnya dan tewas seketika. Ia berguling ke bawah bunker Kroasia yang mengakibatkan jasadnya tidak bisa diambil.

Setelah tiga bulan berikutnya, barulah jasad Dawood ditemukan oleh Pasukan Mujahidin. Diceritakan oleh Komandannya Abul Haritsh bahwa jasad Dawood saat ditemukan sudah berbau kesturi. Jasad tersebut ditemukan seperti posisi Dawood tertidur yaitu meringkuk menghadap ke kanan. Subhanallah...

Redaktur: Heri Ruslan
Reporter: Hannan Putra

Translate it by Google Translator