11 April 2014

Stephanie Roy Hidayah Datang Kala Puasa Ramadhan (2-habis)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Rosita Budi Suryaningsih
Peralihan keyakinannya sempat ditentang para kerabat.

Ia pun kemudian kenal dengan seorang pria Muslim. Hubungan mereka pun semakin dekat dan Stephanie kemudian berkata pada teman-temannya ia mulai tertarik untuk mempelajari Islam, meski tidak begitu serius.

Ternyata, ia justru ditarik dan terus didukung untuk masuk Islam oleh berbagai aliran Islam yang ada di kampusnya. Pertentangan kemudian muncul dari kawan-kawannya yang non-Muslim.

Mereka berkata pada Stephanie Islam itu berat dan ia tak akan sanggup menjalankan ibadah-ibadahnya, terutama berpuasa.
Ia pun bingung dan kemudian berkata akan menunggu selama tiga tahun untuk memantapkan dirinya ingin masuk Islam atau tidak.

Proses pencarian

Dalam tiga tahun tersebut, ia berusaha memahami apa inti dari ajaran Islam dan perbedaan berbagai aliran di dalamnya.
Dalam masa tersebut, ia mencari apa yang selama 23 tahun ini tidak ada dalam hidupnya dan apa yang akan melengkapi hidupnya di masa depan.

Tapi, dalam masa belajarnya untuk mengenal Islam, ia tetap bisa melanjutkan kuliah dan bisa meyakinkan orang tuanya ia akan memilih Islam suatu hari nanti.

Dalam tahun pertama, ia ditantang kawan-kawannya yang non-Muslim untuk berpuasa Ramadhan. Ia pun menyanggupinya.
Ia berpuasa dari pagi hari hingga senja pada hari pertama. “Namun, saat itu aku malah berbuka dengan bir dan burger bacon yang terbuat dari daging babi asap,” katanya.

Masa tantangan pun berlanjut hingga sebulan penuh dan Stephanie pun menyanggupinya. Tantangan yang tadinya hanya sebuah hal yang tidak serius, kemudian justru memberikan perubahan yang sangat berarti padanya.

Setelah 30 hari berpuasa, ia merasakan perubahan pada tubuhnya dan sadar puasa bukan membuat tubuhnya lemah meski tidak makan dalam waktu lama, justru membuat tubuhnya menjadi bertambah kuat.
“Saat itu, mungkin saya belum yakin sepenuhnya pada Islam, tapi saya yakin dengan kekuatan Ramadhan,” katanya.

Pembelajarannya tentang Islam terus berlanjut, hingga sampai pada Ramadhan kedua. Saat itu, ia sadar, ia membutuhkan lebih banyak waktu untuk memberikan perhatian pada Islam.

“Saat itu, saya yakin Allah telah memberikan petunjuk pada saya untuk datang pada Islam,” katanya. Namun, ia belum mantap sepenuhnya.

Ia justru berdoa setiap malam agar Allah menunjukkan dengan jelas apakah ia akan masuk Islam atau tidak.
Hal ini karena kawan-kawannya yang Muslim ingin ia segera masuk Islam, sedangkan kawannya yang non-Muslim selalu mencegahnya.

Hingga, pada Ramadhan ketiga ia baru menemukan hidayah. Selepas berbuka puasa, pada 28 Juli 2012 ia pun akhirnya mengucapkan syahadat.

Tak ada pihak lain yang bisa menghalanginya untuk menapakkan kaki di jalan kebenaran. Ia pun yakin dengan kata-kata yang diucapkannya tersebut, “Tiada Tuhan yang patut disembah selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah.''

source : 
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/mualaf/14/04/10/n3smig-stephanie-roy-hidayah-datang-kala-puasa-ramadhan-2habis

Stephanie Roy Hidayah Datang Kala Puasa Ramadhan (1)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Rosita Budi Suryaningsih
Peralihan keyakinannya sempat ditentang para kerabat.
Perempuan yang tinggal di Kanada ini ingin benar-benar paham dengan apa yang akan dipilihnya. Begitu juga dengan Islam.
Ia tak langsung masuk dan menjadi bagian darinya sebelum ia benar-benar berkenalan dengan Risalah Samawi itu dan apakah Islam akan cocok dengan dirinya atau tidak.

Dari laman aquila-style, ia menceritakan pengalamannya hingga mantap memilih Islam. Kisahnya diawali ketika keraguan mulai muncul padanya dan ia mendapatkan pertanyaan, “Bagaimana caranya aku bisa hidup di sini?”

Kegelisahan pada eksistensi dirinya muncul sejak ia membaca novel berjudul The Alchemist karangan Paulo Ceolho. Ia membaca novel tersebut berulang-ulang.

Ia sangat tertarik pada gambaran karakter di dalamnya yang saat menghadapi kesulitan tetap berjalan teguh pada satu tujuan dan tidak memedulikan situasi ataupun yang menjadi penghalangnya. “Saat membacanya, aku kemudian tersadar, rasanya kepala ini dipukul dengan hebatnya,” katanya.

Ia kemudian mengingat nasibnya sekitar 10 tahun lalu. Saat itu, kehidupannya jauh berbeda dengan sekarang.
Ia tak lancar berbahasa inggris dan tinggal dengan ibunya di sebuah kota kecil di Kanada bagian timur. Saat itu, cita-citanya adalah menjadi seorang aktris atau penyanyi terkenal.

Kehidupan yang dijalaninya kini jauh berbeda dengan yang dicita-citakannya. Ia telah memegang gelar sarjana dalam ilmu bahasa dan menjalani kehidupan sukses di ibu kota Kanada.

Dalam masa kesuksesannya tersebut, ia dipertemukan dengan novel The Alchemist yang membuat kehidupannya jauh lebih sukses dari sebelumnya secara spiritual.

Tidak tertarikSebelumnya ia tak tertarik dengan Islam. Ia menganggap Islam adalah agama bagi orang-orang gila yang rela membunuh demi apa yang disembahnya tersebut. Ketika ia duduk di bangku kuliah dan mempelajari tentang Perang Salib, pikirannya menjadi terbuka.

Meski selama ini ia dibesarkan di lingkungan gereja Katolik, kisah Perang Salib ini dianggapnya sebagai tindakan ekstremis dari agamanya dan tidaklah benar. “Aku sendiri sebenarnya percaya hanya ada satu Tuhan,” katanya.

Ia sendiri selalu percaya dengan adanya Tuhan. Tapi, ia tak menemukan agama yang pas untuk diyakini. Ia kemudian mencoba berbagai agama dan berbagai bentuk paganisme.
Satu hal yang ia percaya hanyalah ia bisa hidup di dunia ini karena adanya Tuhan, tapi ia tak tahu Tuhan yang mana.

“Saya terus mencari, tapi tidak pernah menemukan agama mana yang ingin saya pegang dan akhirnya saya pun menyerah. Pilihan saya adalah menjadi agnostik, percaya dengan adanya Tuhan, tapi tidak menentukan satu agama sebagai kepercayaannya,” jelasnya.

Hingga, keputusan tersebut mulai berubah ketika ia membaca novel The Alchemist. Ia sangat tertarik dengan bab-bab pertama dalam buku tersebut yang mengenalkan tanda-tanda adanya Allah.

Translate it by Google Translator