23 April 2007

Gereja itu Akhirnya Beralih Menjadi Masjid

Dunia Islam Oleh : Redaksi 20 Apr 2007 - 7:25 pm
imageDi tengah dinginnya malam musim dingin tahun ini, sebuah kota kecil yang sangat terpencil di pedalaman Inggris sepakat untuk mengizinkan beralih fungsinya sebuah bekas gereja Kristen menjadi sebuah masjid.

Pemungutan suara terbatas, yang diadakan oleh pemerintah daerah setempat ini, menandai akhir perjuangan sengit komunitas kecil umat Islam untuk mendapatkan tempat ibadah. Dengan mengubah sebuah gereja Metodis menjadi sebuah masjid. Gereja ini sebelumnya sudah beralih fungsi menjadi pabrik, sejak ditinggal kabur jemaahnya 40 tahun lalu.

Pertarungan ini menandai kegelisahan warga Inggris terhadap minoritas Islam, khususnya mengenai akan masuknya kelompok teroris. Ketaatan umat Islam pada agama telah memicu meningkatnya sikap sekuler orang Inggris.

Inggris boleh saja terus mengaku sebagai negara Kristen. Tapi kenyataannya, jumlah umat Islam yang taat beragama mengungguli jumlah umat kristen yang sudi datang ke gereja. Demikian survei yang dilakukan Chirstian Research, lembaga yang khusus mendokumentasikan umat Kristiani di Inggris.

Jumlah umat Islam di Inggris sekitar 1.6 juta jiwa, atau sekitar 2.7 persen dari jumlah total penduduk. Sedang populasi di Clitheroe 14.500 jiwa.

Di Clitheroe, kota kecil di utara Manchester, pergulatan ini melibatkan para profesional muda keturunan Pakistan yang penuh gairah berhadapan tradisi ketat warga setempat. Di kota ini istana Norman dan gereja Anglikan sudah berdiri sejak 1122.

"Kami sudah 30 tahun berusaha untuk mendapatkan tempat ibadah," kata Sheraz Arshad (31), pemimpin komunitas Muslim setempat. Arshad adalah warga keturunan Pakistan. Ayahnya bernama Muhammad Arshad, imigran dari Rawalpndi yang datang pada 1965 untuk bekerja di pabrik semen di pinggir kota. Arshad sendiri bekerja sebagai manejer proyek di British Aerospace.

Masyarakat di sini menganggap diri mereka sebagai penghalang terakhir berdirinya masjid yang menjadi fenomena tersendiri di kota industri ini. Tekad kuat Arshad untuk membangun masjid di Clitheroe jelas tidak mulus.

Ayahnya yang wafat pada 2000 lalu, mewarisi perjuangan untuk mendirikan masjid bagi sekitar 300 warga muslim di sana, dan Arshad siap melanjutkan perjuangan.

"Saya pikir, kenapa saya diperlakukan tidak adil. Seperempat gaji saya untuk membayar pajak. Dari sini saya tergerak untuk berjuang mendirikan masjid," kata Arshad.

Hingga kini, Arshad dan ayahnya telah delapan kali mengajukan permohonan pendirian masjid, bahkan pernah berencana membeli sebuah rumah di pinggir kota untuk dijadikan masjid. Bahkan katanya dia pernah berusaha membeli tanah dari dewan kota, tapi ditolak mentah-mentah.

Arshad sering mendapati cemoohan pada pertemuan dengan dewan kota. "Pulang kau, Paki!," kenang Arshad sedih.

Pemda setempat beralasan, pendirian masjid ini dikhawatirkan akan menarik para pendatang - khususnya muslim - untuk pindah ke Clitheroe. Sebuah surat pembaca di suratkabar lokal, The Clitheroe Advertiser dan Times mengatakan, meningkatnya populasi umat Islam di dua kota tetangga Blackburn dan Preston juga akan terjadi di Clitheroe.

Menanggapi hal ini, Arshad tergerak untuk membuktikan dirinya seorang muslim moderat, yang bersedia ambil bagian di setiap kegiatan kota tersebut. Dia membentuk kelompok pramuka antaragama, bernama Beaver Scouts, yang menghargai berbagai acara keagamaan termasuk acara agama Tao dan tahun baru Yahudi.

Arshad juga mendirikan Pusat Pendidikan Islam Madina, sebuah kelompok antaragama bagi orang dewasa.

Dia juga melakukan persuasi kepada Pemda setempat untuk mendirikan sebuah komite, dan mengadakan sejumlah kuliah berseri tentang konflik global yang menarik para tokoh akademisi penting.

Pada malam pemungutan suara 21 Desember lalu, gedung dewan disesaki 150 orang. Polisi siap siaga di luar gedung. Suara untuk Masjid unggul 7 banding 5, dan tidak ada aksi kekerasan.

"Saya berpikir akan mengundurkan diri, jika faktanya kita akan kalah," kata Arshad. "Tapi hasil akhirnya sangat mengharukan".

Menurut rencana tata kota, gereja hanya boleh difungsikan sebagai tempat ibadah. Itulah sebabnya dewan kota menginzinkan untuk mengalihkan fungsi gereja tua tersebut menjadi masjid. Demikian dikatakan Geoffrey Jackson, Ketua Eksekutif LSM Trinity Parnership, seorang Metodis yang turut mendukung perjuangan Arshad.

Jackson juga memuji sikap/kelakuan Arshad. "Dia seorang pria yang unggul, punya aksen Lancashire (logat Inggris pedalaman yang kental-red), lahir dan besar di sini, dan mengenyam pendidikan di Clitheroe," ungkap Jackson.

Tapi perjuangan belum berakhir. Di balik kesepakatan tadi, masih tersimpan dendam di antara mereka yang kontra. Buktinya adanya hal itu, adalah perusakan beberapa kaca jendela gereja (masjid) tersebut.

Di jalan utama Clitheroe, meskipun Pemda setempat mengizinkan berdirinya masjid, pengaruh perkembangan Islam masih dikhawatirkan warga setempat.

"Terdapat begitu banyak perlawanan," kata Robert Kay, seorang sopir bayaran. Tapi Kay mengatakan, orang-orang yang berjuang atas masjid adalah orang yang gigih, yang tidak menyerah begitu saja.

Pada 1960an Gereja Metodis Gunung Zion berubah fungsi menjadi pabrik (ukiran/kerajinan kayu) yang diekspor ke timur tengah. Masa mulai menurunnya jumlah umat kristiani yang pergi ke gereja.
imageSaat ini, Kristen Metodis Inggris yang taat beragama kurang dari 500,000 orang. Sedang umat Kristen, hanya sekitar 6 persen saja yang masih rutin datang ke gereja. Demikian diungkapkan Peter Brierly, Direktur Eksekutif Christian Research. Meski belum didapat angka pasti, banyak kalangan sepakat, bahwa umat Islam Inggris lebih sering datang ke masjid dibanding umat Krisrten yang datang ke gereja.

Gangguan simbolik terhadap Islam di puncak kekuasaan Inggris sudah selesai. Di universitas Oxford, warga kota baru-baru ini, menentang pembangunan Pusat Studi Islam, tapi aksi mereka tidak sukses. Sebelumnya umat Islam tidak mempunyai wakil di Majelis Pewakilan Tinggi, tapi sekarang ada 7 orang wakil umat Islam di sana. Ini terjadi sejak satu dekade berkuasanya Partai Buruh di Inggris.

Di deaerah pemukiman buruh, kesenjanga terlihat jelas antara pribumi kulit putih dengan imigran muslim Asia, dari bekas negara jajahan Inggris, Pakistan dan Banglades pada 1970an. Warga kulit putih tidak begitu suka menikah, anak-anak yang lahir lebih banyak dari hasil hubungan luar nikah. Berbeda dengan umat Islam, hal demikian jelas bertentangan.

Tingginya konsumsi alkolhol oleh warga kulit putih memperlebar jarak kedua komunitas ini. Di Blackburn dan Preston meningkatnya jumlah umat Islam membuatnya jadi eksklusif. Berkembangnya pengaruh sekolah Islam "Wahhabi" jelas terlihat pada wanita-wanita pakaian hitam lebar yang menutupi seluruh tubuh mereka kecuali mata saja.

Di Blackburn terdapat sekitar 30,000 muslim dari 80,000 total populasi. Terdapat sekitar 40 masjid yang berdiri berdampingan dengan gereja kuno. Hal inilah yang ditakutkan para oposisi pembangunan masjid di Clitheroe.

Arshad kini berencana untuk merenovasi gereja tersebut, di sisi lain umat Kristen Clitheroe kekurangan pengunjung gereja. Di gereja Maria Magdalena yang didirikan pada abad 12, jemaah yang hadir turun drastis jadi sekitar 90 orang saja pada tiap Minggu.

"Para pengunjungnya rata-rata berusia 75 tahun"kata Pederi (pendeta wakil paus) Anglikan, Philip Dearden. Kata Philip, upacara pembabtisan atau pemberian nama sudah jarang dilakukan. Bahkan Philip hanya mencatat 7 pernikahan tahun ini.

"Lancashire adalah tempat terakhir untuk melihat sekularisasi di Inggris," cetus Dearden, pria berusia 64 tahun.

"Sangat drastis kita melihatnya. Orang-orang tidak peduli lagi dengan agama, mereka tidak datang lagi."

Di Kendal, kota kecil tetangga Clitheroe, seorang paderi Anglikan bernama Alan Billings menulis sebuah buku berjudul, "Secular Lives, Sacred Hearts: The Role of the Church in a Time of No Religion" (Kehidupan Sekuler, Hati yang Suci: Peran Gereja di Saat Tidak Adanya Agama).

Katanya meningkatnya aksi oposisi terhadap masjid di antara warga kulit putih adalah refleksi kegelisahan warga Inggris yang semakin menjadi-jadi sejak aksi bom bunuh diri pada Juli 2005 lalu.

"Sering kali diekspresikan dalam penolakan yang samar seperti, akan bertambahnya mobil, bertambahnya penduduk," jelas Billings yang juga kontributor tetap program keagamaan di BBC ini. "Tapi itu benar-benar kegelisahan mendalam terhadap apa yang terjadi di masyarakat. Rasa takut tentang apa yang akan terjadi terhadap kebudayaan dan rasa kecintaan terhadap Inggris.

Pada pertemuan tiap hari Sabtu, hanya terkumpul sekitar 50 jemaah saja, hampir semuanya beruban (usia senja). Billings menegaskan bahwa gereja sedang dalam tekanan. Islam sekarang telah menjadi alternatif selain Kristen.

Pada Minggu belakangan ini, hanya ada satu anak saja yang hadir sekolah minggu. Buku cerita, kertas, dan pensil tergeletak begitu saja, hanya ada seorang guru dengan seorang murid usia 6 tahun. Ruangan lainnya kosong melompong.

Kontras sekali dengan Shamim Ahmad Miah (26) ustad keturunan Pakistan di Accrington, kota sebelah Clitheroe. Di sini Miah mengajar bahasa Arab dan al-Qur'an pada 30 orang murid, usia 5-15 tahun, tiga kali sehari.

Di sini Miah mengajar 10 murid sekolah dasar, duduk di kursi dengan meja terang gedung pertemuan setempat, dia mengajar baca tulis Arab. Dia membagikan sejumlah kertas pada setiap murid untuk menulis beberapa huruf. "Pelan-pelan, ini adalah sebuah seni,"kata Miah.

Arshad berencana untuk mengundang Miah menjadi imam di Clitheroe. "Dia seorang progresif," puji Arshad.

Tidak akan ada perombakan besar-besaran terhadap bangunan gereja, sekedar menurunkan salib yang masih terpampang di atas.

Para wanita dibolehkan untuk shalat di ruang utama, "tidak di pojokan," kata Arshad.

"Kita tidak memasang kubah. Itu (kubah) akan terlihat cantik di Mesir dan Turki, tapi di Inggris malah akan terlihat seperti bawang raksasa. Adzan juga tidak akan keraskan ke luar masjid. Yang terpenting adalah apa yang kita lakukan di dalam," katanya. [nytimes.com/Surya/cha/hidayatullah]


image image
image

BACA:
Inggris adalah Tempatnya Muslim


No comments:

Translate it by Google Translator