11 April 2014

Stephanie Roy Hidayah Datang Kala Puasa Ramadhan (1)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Rosita Budi Suryaningsih
Peralihan keyakinannya sempat ditentang para kerabat.
Perempuan yang tinggal di Kanada ini ingin benar-benar paham dengan apa yang akan dipilihnya. Begitu juga dengan Islam.
Ia tak langsung masuk dan menjadi bagian darinya sebelum ia benar-benar berkenalan dengan Risalah Samawi itu dan apakah Islam akan cocok dengan dirinya atau tidak.

Dari laman aquila-style, ia menceritakan pengalamannya hingga mantap memilih Islam. Kisahnya diawali ketika keraguan mulai muncul padanya dan ia mendapatkan pertanyaan, “Bagaimana caranya aku bisa hidup di sini?”

Kegelisahan pada eksistensi dirinya muncul sejak ia membaca novel berjudul The Alchemist karangan Paulo Ceolho. Ia membaca novel tersebut berulang-ulang.

Ia sangat tertarik pada gambaran karakter di dalamnya yang saat menghadapi kesulitan tetap berjalan teguh pada satu tujuan dan tidak memedulikan situasi ataupun yang menjadi penghalangnya. “Saat membacanya, aku kemudian tersadar, rasanya kepala ini dipukul dengan hebatnya,” katanya.

Ia kemudian mengingat nasibnya sekitar 10 tahun lalu. Saat itu, kehidupannya jauh berbeda dengan sekarang.
Ia tak lancar berbahasa inggris dan tinggal dengan ibunya di sebuah kota kecil di Kanada bagian timur. Saat itu, cita-citanya adalah menjadi seorang aktris atau penyanyi terkenal.

Kehidupan yang dijalaninya kini jauh berbeda dengan yang dicita-citakannya. Ia telah memegang gelar sarjana dalam ilmu bahasa dan menjalani kehidupan sukses di ibu kota Kanada.

Dalam masa kesuksesannya tersebut, ia dipertemukan dengan novel The Alchemist yang membuat kehidupannya jauh lebih sukses dari sebelumnya secara spiritual.

Tidak tertarikSebelumnya ia tak tertarik dengan Islam. Ia menganggap Islam adalah agama bagi orang-orang gila yang rela membunuh demi apa yang disembahnya tersebut. Ketika ia duduk di bangku kuliah dan mempelajari tentang Perang Salib, pikirannya menjadi terbuka.

Meski selama ini ia dibesarkan di lingkungan gereja Katolik, kisah Perang Salib ini dianggapnya sebagai tindakan ekstremis dari agamanya dan tidaklah benar. “Aku sendiri sebenarnya percaya hanya ada satu Tuhan,” katanya.

Ia sendiri selalu percaya dengan adanya Tuhan. Tapi, ia tak menemukan agama yang pas untuk diyakini. Ia kemudian mencoba berbagai agama dan berbagai bentuk paganisme.
Satu hal yang ia percaya hanyalah ia bisa hidup di dunia ini karena adanya Tuhan, tapi ia tak tahu Tuhan yang mana.

“Saya terus mencari, tapi tidak pernah menemukan agama mana yang ingin saya pegang dan akhirnya saya pun menyerah. Pilihan saya adalah menjadi agnostik, percaya dengan adanya Tuhan, tapi tidak menentukan satu agama sebagai kepercayaannya,” jelasnya.

Hingga, keputusan tersebut mulai berubah ketika ia membaca novel The Alchemist. Ia sangat tertarik dengan bab-bab pertama dalam buku tersebut yang mengenalkan tanda-tanda adanya Allah.

No comments:

Translate it by Google Translator