Jumat, 09 Maret 2007
Di Negeri Kampiun demokrasi bernama Amerika, hak-hak kaum Muslim masih jauh dari layak. Meski demikian, gerakan “kembali kepangkuan Islam” terus tak terbendung-Hidayatullah.com—
Masjid tertua di pegunungan Rocky bagian barat, komplek South Parker Road adalah daerah simbol Islam yang terlihat jelas menaranya, dengan bulan sabit di puncak atap bundarnya dan area parkir yang padat waktu shalat Jum'at.
Mohammad Noorzai mempunyai tugas yang cukup sulit yaitu mengurusi jamaah immigran dan mua'alaf, tua dan muda, progresif dan konservatif. Reformasi yang dilakukannya mencakup pembenahan ke dalam atau pun ke luar.
Ia menghadiri pertemuan dari organisasi lain dan memberikan nomer HPnya. Sebuah open house yang dihadiri oleh 150 non Muslim. Para pemuda mengambili sampah sepanjang Parker Road dan membersihkan jalan setapak tetangga kanan kiri.
“Sudah cukup lama, karena kita minoritas di sini, Muslim memikirkan komunitasnya sendiri saja,” kata Noorzai yang diangkat bulan Agustus. “Kita perlu untuk melihat keluar dari kotak itu.” Mohammad Noorzai adalah presiden pertama yang diangkat dan dibayar oleh komunitas Muslim Colorado.
Masjid ini telah mengalami banyak hal menyakitkan. Empat tahun lalu, empat orang dari MILA menang dalam syuro'. Satu orang dipindahkan, satu berhenti karena sakit, satunya lagi berhenti karena mengikuti kegiatan politik, dan yang terakhir pun mengikuti jejak yang sama, kata Noorzai. MILA (Muslims Intent on Learning and Activism), sebuah komunitas Muslim setempat. Kegiatan MILA yang lain adalah klinik kesehatan dan perlindungan bagi perempuan.
Minggu ini, konstitusi masjid secara resmi dapat dibicarakan pada pertemuan tahunan anggota. Peran perempuan juga bisa didiskusikan dalam forum ini.
Noorzai mengatakan bahwa ia membutuhkan masukan dari konstitusi masjid terkait dengan pengaktifan lagi komite perempuan.
“Saya ingin memberdayakan perempuan, bukan hanya sekedar symbol, tetapi perempuan yang diberi jabatan dan bertanggung jawab terhadap banyak hal. Itulah bentuk kepedulian kita terhadap perempuan,” katanya.
Pada hari raya Idul Fitri, Noorzai berencana untuk memakai ruang serbaguna di lantai dasar untuk sholat jama'ah laki-laki. Tetapi bila ada perempuan yang protes, maka ia akan menyediakan tempat juga bagi mereka.
“Perempuan adalah leher dan laki-laki adalah kepalanya,” kata Aminah Washington, pimpinan komite perempuan. “Tanpa leher, kepala akan menggelinding ke jalan.”
Ammar Amonette, imam masjid, mengkritik Islam di Amerika. Ia adalah Muslim Amerika berkulit putih yang menjadi mualaf dan belajar Islam di Arab Saudi, di mana pemahaman keislaman yang lurus berkembang.
Dia menyatakan bahwa sejak peristiwa 11 September, Muslim yang sebelumnya merasa nyaman dengan budaya Amerika yang “tidak begitu serius dengan agamanya” akhirnya ketakutan dan memutuskan bahwa Islam “tidak cukup progresif dengan kenyataan yang ada.” Kesalahpahaman ini diakibatkan kurangnya pendidikan dan pemahaman keislaman yang benar.
“Jika tiap orang ingin mendefinisikan Islam sesuai kemauannya sendiri, kita tak akan pernah punya Islam,” kata Ammonete. “Kita akan mempunyai milyaran agama yang berbeda.”
Pandangan ini diikuti oleh banyak Muslim lainnya termasuk mereka yang baru saja masuk islam dengan penuh semangat. Sebut saja Mike Czeponis, 27, yang menemukan kesalehan dan keuniversalan dalam Islam.
Masuk Islam sejak 2005, Czeponis memakai kain di kepala dan memanjangkan jenggot. Jubah hitamnya yang selalu ia jaga agar tidak menyapu lantai, menujukkan kesederhanaannya. Meskipun di balik jubah itu terdapat banyak tato dari masa lalunya ketika ia masih memeluk agama magis dan spiritual. Tato itu berbentuk kepala setan dan sayapnya di lengan sebelah kanan. Sebuah symbol Wiccan antara ibu jari dan jari telunjuk, sebuah pentagram.
Saat ini ia mengajari anak laki-lakinya, 8 tahun, membaca Al-Qur'an sebelum diperbolehkan main video games.
“Beberapa akhwat Muslimah --sisters, begitu orang sering menyeebut-- memakai rok mini,” katanya. “Rambutnya pun tidak ditutup dengan kerudung. Ada sesuatu yang nggak beres ketika kita berkumpul bersama tapi tidak menunjukkan sikap yang islami.”
Beberapa mualaf dan anak-anak kelahiran Amerika dari orang tua Imigran menentang kebijakan konvensional. Generasi muda ini mendesak reformasi progresif, kata Asra Nomani, yang juga pengarang buku “Standing Alone: One Woman's Struggle for the Soul of Islam.”
“Dalam mengupayakan hak-hak perempuan, saya terkejut ketika mengetahui yang menjadi musuh saya adalah Muslim yang lahir di Amerika. Mereka merasa perlu untuk membuktikan kepada anak cucunya bahwa 'ini loh kami nggak kehilangan keyakinan',” katanya. “Kita jadi terbelakang karena kita akhirnya terjatuh pada interpretasi Islam yang itu-itu saja.”
Berkembang
Tak sedikit organisasi-organisasi keislaman di Amerika. Selain MILA, ada juga ISNA (the Islamic Society of North America), Anshar, CAIR (Council on American-Islamic Relation), The Islamic Affair Council, di New York ada Majelis As-Shura (Imams Council).
Bahkan menurut catatan, dari New York hingga California, telah ada sekitar 4.000 masjid telah didirikan. Menurut laporan harian The New York Times, Muslim telah memenuhi kampus-kampus dan sejumlah organisasi keagamaan pun tumbuh.
Salah satu organisasi terbesar di Amerika adalah ISNA. Mereka terus lahir dan berkembang mengikuti kebutuhan kaum Muslim.
Banyak orang terperanjat, Islam tiba-tiba menjadi salah satu agama yang paling diminati di samping Kristen dan Yahudi. Dalam beberapa tahun terakhir –khususnya pasca peledakan WTC-- agama Islam melaju begitu cepat dan menjadi fenomena paling menarik di Amerika.
Menurut Jane I. Smith, dalam bukunya “Islam di Amerika”, tercatat, sudah ratusan kajian dari berbagai tinjauan di beberapa universitas di Amerika yang menjadikan Islam dan umat Islam sebagai tema utama. Menurut Smith, Islam perkiraan akan menjadi agama terbesar kedua setelah Kristen di negeri Uncle Sam, akan menjadi kenyataan.
Ustad Muhammad Syamsi Ali, seorang imam masjid Indonesia di New York mengatakan, meski kasus WTC sempat memperburuk kondisi umat Islam di Amerika, sebagian berkahnya, banyak warga AS yang tadinya anti dan tak begitu mengenal Islam tiba-tiba semakin tertarik –dan bahkan—berbondong-bondong memeluk Islam.
Sebelum 9/11 mereka acuh tak acuh terhadap agama, jangankan terhadap Islam, terhadap agama kelahiran mereka saja mereka acuhkan. Gereja-gereja kosong, agama tidak lebih perayaan-perayaan sosial semata seperti Natal, dan lain-lain. Sebaliknya, anak-anak muda mereka semakin anti agama, yang dianggap kuno dan menjadi faktor keterbelakangan dan kebodohan.
Padahal, sebelum 9/11, Islam tidaklah terlalu menjadi sorotan. Bahkan umumnya, mayoritas masyarakat AS tidak tahu-menahu apa itu “Islam”. Termasuk media-media Barat tidak terlalu banyak menyebut Islam. Kecuali tulisan-tulisan yang bersifat negatifnya saja.
“Setelah 9/11, semua ini berubah. Keinginan untuk tahu Islam menjadi sangat menonjol dan bahkan referensi Islam menjadi jualan paling laris di seantero Amerika Utara”, ujarnya dikutip Republika.
Luar biasa. Berbagai kalangan di Amerika tiba-tiba berminat dan ingin tahu banyak hal tentang Islam. Tak hanya tempat-tempat diskusi. Gereja-gereja, sinagog, perkantoran-perkantoran swasta bahkan pemerintahan semua ingin tahu, apa itu “Islam”.
Menurut Syamsi, kesempatan itulah yang dipergunakan secara baik oleh para imam dan para dai untuk mengenalkan Islam sesungguhnya pada warga Amerika.
Dampaknya sangat luar biasa. Semakin berkembang secara pesat warga Amerika yang memeluk Islam. Terutama di kalangan African-American. Bagi, mereka, Islam adalah jalan keluar seteleh beratus-ratus tahun mereka ‘terbelenggu’ ras dan warna kulit.
Black Americans (warga Amerika kulit hitam) begitu mereka biasa dipanggil, menemukan kenyamanan dalam Islam. Bersama Islam, mereka tak menemukan perbedaan ras dan warna kulit. Sebelumnya, di Amerika, mereka justru dianggap sebagai warga kelas dua.
Enam tahun lalu, khususnya pasca runtuhnya Menara Kembar WTC, harian The New York Times (22/10/2001) melaporkan, sekitar 25 ribu orang Amerika telah beralih memeluk Islam . Columbia News Service menulis ada sekitar 15 ribu orang keturunan Amerika Latin beralih dari Katolik dan memeluk Islam di AS. Mereka menyebar di berbagai kota meliputi Newark, Miami, Los Angeles dan New York.
Direktur Jamaica Muslim Center dan Ketua Masyarakat Muslim Indonesia, ustad Syamsi Ali mengatakan kepada www.hidayatullah.com, bisa dikatakan, sekitar 2-3 orang perminggu yang memeluk Islam di Amerika.
“Rata-rata sekitar sekitar 2-3 orang perminggu. Tidak jarang secara berombongan seetelah shalat Jum'at”, ujarnya. Bahkan, ia pernah mengislamkan 8 orang sekaligus dalam sebuah acara Jum'atan di Islamic Center.
Islam kini telah masuk ke ‘jantung hati” Paman Sam, bagaimanakah agama ini bisa dirasakan warga Amerika? Jawabnya seperti dikatakan ShemsAdeen Ben-Masaud (25), seorang akuntan manager Sprint.
“Setelah peristiwa 9 September dan beberapa peristiwa yang menyertainya, kita dihadapkan pada pertanyaan, apakah yang menjadi prioritas utama kita, menjadi seorang Amerika atau seorang Muslim,” katanya.
“Bagi saya, tidak ada keraguan lagi. Menjadi seorang Muslim adalah prioritas. Karena pada kenyataannya kehidupan saya semuanya berdasarkan apa yang telah digariskan oleh Islam, bukan dalam kapasitas saya sebagai orang Amerika,” ujarnya dikutip The Denver Post. [Ria, cha, berbagai sumber)
11 March 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment