Oleh : Redaksi 16 Jun 2008 - 7:00 pm 

Oleh : Adian Husaini.


Jadi, mungkin hanya ada di Indonesia, ”Malaikat Jibril” berkirim surat lengkap dengan kop surat dan tanda tangannya, serta ”berganti tugas” sebagai ”pencabut nyawa".
Maka, saat ditanya tentang status aliran semacam ini, MUI dengan tegas menyatakan, ”Itu sesat.” Mengaku dan menyebarkan ajaran yang menyatakan bahwa seseorang telah mendapat wahyu dari Malaikat Jibril, apalagi menjadi jelmaan Jibril adalah tindakan munkar yang wajib dicegah dan ditanggulangi. (Kata Nabi saw: ”Barangsiapa diantara kamu yang melihat kemunkaran, maka ubah dengan tangannya. Jika tidak mampu, ubah dengan lisan. Jika tidak mampu, dengan hati. Dan itulah selemah-lemah iman”).

Tapi, gara-gara menjalankan tugas kenabian, mengelarkan fatwa sesat terhadap kelompok-kelompok seperti Lia Eden, Ahmadiyah, dan sejenisnya, MUI dihujani cacian. Ada yang bilang MUI tolol. Sebuah jurnal keagamaan yang terbit di IAIN Semarang menurunkan laporan utama: ”Majelis Ulama Indonesia Bukan Wakil Tuhan.”. Ada praktisi hukum angkat bicara di sini, ”MUI bisa dijerat KUHP Provokator.” Seorang staf dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), dalam wawancaranya dengan jurnal keagamaan ini menyatakan, bahwa:
”MUI kan hanya semacam menjual nama Tuhan saja. Dia seakan-akan mendapatkan legitimasi Tuhan untuk menyatakan sesuatu ini mudharat, sesuatu ini sesat. Padahal, dia sendiri tidak mempunyai kewenangan seperti itu. Kalau persoalan agama, biarkan Tuhan yang menentukan.” Ketika ia ditanya, ”Menurut Anda, Sekarang MUI mau diapakan?” dia jawab: ”Ya paling ideal dibubarkan.” (Jurnal Justisia, edisi 28 Th.XIII, 2005)
Majalah ADIL (edisi 29/II/24 Januari-20 Februari 2008), memuat wawancara dengan Abdurrahman Wahid (AW):

AW: Karena MUI itu melanggar UUD 1945. Padahal, di dalam UUD itu menjamin kebebasan mengeluarkan pendapat dan kemerdekaan berbicara..
Adil: Mengapa MUI tidak melakukan peninjauan atas konstitusi yang isinya begitu gamblang itu?
AW: Karena mereka itu goblok. Itu saja. Mestinya mereka mengerti. Mereka hanya melihat Islam itu sebatas institusi saja. Padahal Islam itu adalah ajaran.
Adil: Apa seharusnya sikap MUI terhadap kelompok-kelompok Islam sempalan itu?
AW: Dibiarkan saja. Karena itu sudah jaminan UUD. Harus ingat itu.
Perlu dicatat, bahwa Ketua Umum MUI saat ini adalah K.H. Sahal Mahfudz yang juga Rais Am PBNU. Wakil Ketua Umumnya adalah Din Syamsuddin, yang juga ketua PP Muhammadiyah. Hingga kini, salah satu ketua MUI yang sangat vokal dalam menyuarakan kesesatan Ahmadiyah dan sebagainya adalah KH Ma’ruf Amin yang juga salah satu ulama NU terkemuka.

Dasar kaum pemuja kebebasan untuk menghujat MUI adalah HAM dan paham kebebasan. Bagi kaum liberal ini, pasal-pasal dalam HAM dipandang sebagai hal yang suci dan harus diimani dan diaplikasikan. Dalam soal kebebasan beragama, mereka biasanya mengacu pada pasal 18 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), yang menyatakan: ”Setiap orang mempunyai hak kebebasan berpendapat, keyakinan dan agama; hak ini termasuk kebebasan untuk mengubah agamanya atau keyakinan, dan kebebasan baik sendiri-sendiri atau bersama-sama dengan yang lain dan dalam ruang publik atau privat untuk memanifestasikan agama dan keyakinannya dalam menghargai, memperingati, mempraktekkan dan mengajarkan.”
Deklarasi ini sudah ditetapkan sejak tahun 1948. Para pendiri negara Indonesia juga paham akan hal ini. Tetapi, sangatlah naif jika pasal itu kemudian dijadikan dasar pijakan untuk membebaskan seseorang/sekelompok orang membuat tafsir agama tertentu seenaknya sendiri. Khususnya Islam. Sebab, Islam adalah agama wahyu (revealed religion) yang telah sempurna sejak awal (QS 5:3). Umat Islam bersepakat dalam banyak hal, termasuk dalam soal kenabian Muhammad saw sebagai nabi terakhir. Karena itu, sehebat apa pun seorang Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khatab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, radhiyallahu ’anhum, mereka tidak terpikir sama sekali untuk mengaku menerima wahyu dari Allah. Bahkan, Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq telah bertindak tegas terhadap para nabi palsu dan para pengikutnya.
Ada batas

Bangsa mana pun paham, bahwa kebebasan dalam hal apa pun tidak dapat diterapkan tanpa batas. Ada peraturan yang harus ditaati dalam menjalankan kebebasan. Seorang pengendara motor – kaum liberal atau tidak -- tidak bisa berkata kepada polisi, ”Bapak melanggar HAM, karena memaksa saya mengenakan helm. Soal kepala saya mau pecah atau tidak, itu urusan saya. Yang penting saya tidak mengganggu orang lain.”
Namun, simaklah, betapa ributnya sebagian kalangan ketika Pemda Sumbar mewajibkan siswi-siswi muslimah mengenakan kerudung di sekolah. Kalangan non-Muslim juga ikut meributkan masalah ini. Ketika ada pemaksaan untuk mengenakan helm oleh polisi mereka tidak protes. Tapi, ketika ada pemaksaan oleh pemeritah untuk mengenakan pakaian yang baik, seperti mengenakan kerudung, maka mereka protes. Padahal, itu sama-sama menyangkut hak pribadinya. Dalam 1 Korintus 11:5-6 dikatakan:
”Tetapi tiap-tiap perempuan yang berdoa atau bernubuat dengan kepala yang tidak bertudung, menghina kepalanya, sebab ia sama dengan perempuan yang dicukur rambutnya. Sebab jika perempuan tidak mau menudungi kepalanya, maka haruslah ia juga menggunting rambutnya. Tetapi jika bagi perempuan adalah penghinaan, bahwa rambutnya digunting atau dicukur, maka haruslah ia menudungi kepalanya.”
Orang-orang Barat, meskipun beragama Kristen, tidak mau mewajibkan kerudung. Bahkan, karena pengaruh paham sekularisme, banyak sekolah di Barat – termasuk di Turki – yang melarang siswanya mengenakan kerudung. Untuk itulah mereka kemudian membuat berbagai penafsiran yang ujung-ujungnya menghilangkan kewajiban megenakan kerudung bagi wanita.
Jadi, karena ingin menerapkan paham kebebasan, maka mereka menolak aturan-aturan agama. Konsep kebebasan antara Barat dan Islam sangatlah berbeda. Islam memiliki konsep ”ikhtiyar” yakni, memilih diantara yang baik. Umat Islam tidak bebas memilih yang jahat. Sedangkan Barat tidak punya batasan yang pasti untuk menentukan mana yang baik dan mana yang buruk. Semua diserahkan kepada dinamika sosial. Perbedaan yang mendasar ini akan terus menyebabkan terjadinya ”clash of worldview” dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Dua konsep yang kontradiktif ini tidak bisa dipertemukan. Maka seorang harus menentukan, ia memilih konsep yang mana.

Kaum liberal, sebagaimana orang Barat pada umumnya, menjadikan faktor ”mengganggu orang lain” sebagai batas kebebasan. Seseorang beragama apa pun, berkeyakinan apa pun, berperilaku dan berorientasi seksual apa pun, selama tidak mengganggu orang lain, maka perilaku itu harus dibiarkan, dan negara tidak boleh campur tangan. Bagi kaum liberal, tidak ada bedanya seorang menjadi ateis atau beriman, orang boleh menjadi pelacur, pemabok, menikahi kaum sejenis (homo/lesbi), kawin dengan binatang, dan sebagainya. Yang penting tidak mengganggu orang lain. Maka, dalam sistem politik mereka, suara ulama dengan penjahat sama nilainya.

Apakah kaum liberal juga memberi kebebasan kepada orang lain? Tentu tidak! Mereka juga memaksa orang lain untuk menjadi liberal, sekular. Mereka marah ketika ada daerah yang menerapkan syariah. Mungkin, mereka akan sangat tersinggung jika lagu Indonesia Raya dicampur aduk dengan lagu Gundhul-gundhul Pacul. Mereka juga akan marah jika lambang negara RI burung garuda diganti dengan burung emprit. Tapi, anehnya, mereka tidak mau terima jika umat Islam tersinggung karena Nabinya diperhinakan, Al-Quran diacak-acak, dan ajaran Islam dipalsukan.
Untuk semua itu, mereka menuntut umat Islam agar toleran,”dewasa”, dan tidak emosi. ”Demi kebebasan!”, kata mereka.
Logika kelompok liberal seperti Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) dalam membela habis-habisan kelompok Ahmadiyah dengan alasan kebebasan beragama dan berkeyakinan sangatlah absurd dan naif. Mereka tidak mau memahami, bahwa soal Ahmadiyah adalah persoalan aqidah. Sebab, Ahmadiyah sendiri juga berdiri atas dasar aqidah Ahmadiyah yang bertumpu pada soal klaim kenabian Mirza Ghulam Ahmad. Karena memandang semua agama sama posisinya, maka mereka tidak bisa atau tidak mau membedakan mana yang sesat dan mana yang benar. Semuanya, menurut mereka, harus diperlakukan sama.
Cara pandang kaum ”pemuja kebebasan” semacam itulah yang secara diametral bertentangan dengan cara pandang Islam. Islam jelas membedakan antara Mu’min dan kafir, antara yang adil dan fasiq. Masing-masing ada tempatnya sendiri-sendiri. Orang kafir kuburannya dibedakan dari orang Islam. Kaum Muslim diperintahkan, jangan mudah percaya pada berita yang dibawa orang fasiq, seperti orang yang kacau shalat lima waktunya, para pemabok, pezina, pendusta, dan sebagainya. Jadi, dalam pandangan Islam, manusia memang dibedakan berdasarkan takwa nya.
Jadi, itulah cara pandang para pemuja kebebasan. Jika ditelaah, misi mereka sebenarnya adalah ingin mengecilkan arti agama dan menghapus agama dari kehidupan manusia. Mereka maunya manusia bebas dari agama dalam kehidupan. Untuk memahami misi kelompok semacam AKKBB ini, cobalah simak misi dan tujuan kelompok-kelompok persaudaraan lintas-agama seperti Free Mason yang berslogan ”liberty, fraternity, dan egality”, atau kaum Theosofie yang bersemboyan: “There is no religion higher than Truth.” Jadi, kaum seperti ini punya sandar ”kebenaran sendiri” yang mereka klaim berada di atas agama-agama yang ada. [Depok, 13 Juni 2008/www.hidayatullah.com]
No comments:
Post a Comment