Oleh Ir. Muhamad Umar Alkatiri
Mantan Napol Kasus Peledakan BCA
Keberadaan FPI dan tindakan anarkis yang melekat padanya adalah sebuah keniscayaan, sesuatu yang sulit ditolak, karena ia lahir dari sebuah sistem yang memang tidak adil.
FPI lahir karena aparat resmi yang seharusnya menjalankan nahimunkar, tidak bekerja sebagaimana mestinya. Malahan, mereka menjadi bagian dari kemungkaran itu sendiri. Seperti, menjadi backing tempat pelacuran, tempat perjudian, dan aneka kemaksiatan lainnya. Ini alasan pertama. Alasan kedua, kualitas kemaksiatan-kemungkaran semakin meningkat, bahkan lebih leluasa dibanding negara paling liberal sekalipun. Indonesia, belasan tahun yang lalu cuma jadi daerah lintasan narkoba, kini bahkan sudah menjadi pabrik terbesar ekstasi dan aneka obat-obatan psikotropika lainnya, tidak hanya untuk kawasan Asia Tenggara.
Di negara liberal, tempat berlangsungnya kegiatan maksiat dibatasi hanya pada lokasi-lokasi tertentu, dan usia pengunjung diawasi ketat. Di Indonesia, di setiap kecamatan (bahkan kelurahan) bisa ditemui tempat maksiat, yang bisa dikunjungi anak-anak usia sekolah setingkat SMP. Begitu juga dengan peredaran VCD porno dan berbagai material pornografi lainnya, dapat diperoleh dengan mudah di setiap pasar atau pertokoan, yang bisa dengan mudah diakses anak-anak di bawah umur, apalagi dengan harga terjangkau (hanya beberapa ribu rupiah saja).
Alasan ketiga, media massa selalu menampilkan sosok FPI yang sedang beraksi dengan kekerasan. Mereka sama sekali tidak pernah menyoroti peristiwa sebelumnya. Yaitu, ketika FPI menulis surat kepada Kapolda atau DPRD dan lain-lain agar suatu tempat maksiat segera ditutup, tidak diberitakan. Begitu juga ketika FPI bernegosiasi dengan pemilik tempat hiburan. Bahkan ketika laskar FPI diserang lebih dulu, media massa tak berminat meliputnya. Barulah ketika FPI membalas, liputan media massa begitu luas, kemudian diikuti oleh berbagai komentar dan caci maki.
Ini jelas tidak adil. Kondisi seperti inilah yang melahirkan ormas seperti FPI. Setuju atau tidak, mau atau tidak mau, FPI akan lahir juga. Artinya, FPI dilahirkan oleh sistem sosial yang diskriminatif. Kalau toh FPI berhasil dibubarkan, maka akan lahir berbagai 'FPI' lainnya. FPI dan berbagai 'FPI' lainnya akan hilang, bila sistem yang tidak adil juga hilang, aparat resmi yang bertugas menjalankan nahimunkar, berfungsi sebagaimana mestinya.
FPI telah menjadi 'kebutuhan' bagi sebagian masyarakat (Islam). Tanyakan hal ini kepada masyarakat jalan Ketapang, Jakarta Pusat. Penduduk jalan Ketapang yang mayoritas Betawi dan Muslim ini, sering jengkel atas arogansi preman Ambon Kristen (beberapa di antaranya Batak Kristen) yang menjadi centeng berbagai tempat hiburan (maksiat) di sekitarnya. Pasca 'perang terbuka' antara puluhan laskar FPI dengan sekitar hampir tiga ratus preman centeng itu, yang terjadi di penghujung tahun 1998, kini warga di jalan Ketapang merasa lebih tenang dan bermartabat.
Puluhan laskar FPI yang jumlahnya tidak seimbang dengan ratusan preman centeng kala itu, berhasil menewaskan sekitar 15 orang preman penjaga tempat maksiat. Dari peristiwa Ketapang ini telah menjadi pemicu terjadinya tragedi pembantaian terhadap umat Islam di Ambon sejak Januari 1999. Preman Ambon Kristen yang terdesak di Ketapang lari pulang kampung dan mengobarkan perang 'saudara' di sana. Bersamaan dengan itu, sejak Desember 1998, terjadi kasus Poso, yang intinya pembantaian terhadap umat Islam juga.
Pada kasus Poso dan Ambon , yang memulai tragedi adalah umat Kristen, namun jusru umat Islam-lah yang dituding membantai umat Kristen. Media massa nasional dan internasional memposisikan umat Islam yang mayoritas membantai umat Kristen yang minoritas. Padahal, yang terjadi kebalikannya, yaitu anarki minoritas terhadap mayoritas.
Dari kondisi seperti ini, yang dibutuhkan umat Islam bukan cuma FPI tetapi juga Laskar Jihad, Laskar MMI dan JI (Jamaah Islamiyah). Sebab, pemerintah dan aparat penegak hukum kurang memihak kepada umat Islam.
Umat Islam disuruh berdamai, padahal biang terjadinya konflik horizontal ini adalah umat Kristen. Bahkan korban terbanyak dari kasus Ambon dan Poso adalah umat Islam. Bagaimana mungkin pihak yang terzalimi diminta menahan diri?
Kelompok Liberal menolak RUU-APP
Belum sembuh luka-luka umat Islam akibat pembantaian umat Kristen pada Kasus Poso (sejak Desember 1998) dan Ambon (sejak januari 1999), ternyata luka itu tergores lagi melalui sikap umat Kristen dan umat non Muslim lainnya yang tanpa dasar yang jelas menolak RUU APP bersama-sama dengan para fundamentalis sekuler dan kaum sepilis. Begitu juga dengan sikap umat Kristen yang menolak Perda syariah. Ini jelas bagian dari provokasi umat Kristen tehadap umat Islam. Namun yang disalahkan justru umat Islam.
Boleh jadi, kasus Bom Malam Natal 2000, adalah puncak kemarahan umat Islam yang diwakili fundamentalis JI (Jama'ah Islamiyah), sebagai reaksi atas terjadinya kasus Poso dan Ambon, yang intinya merupakan praktek muslim cleansing terencana di dua daerah tersebut. Namun umat Kristen tidak juga mawas diri, mereka terus dengan sikap pongahnya menantang umat Islam.
Terbukti, kini mereka ikut-ikutan menentang pembubaran Ahmadiyah. Padahal, kasus Ahmadiyah adalah murni kasus pelanggaran akidah umat Islam, tidak ada hubungannya dengan akidah umat Kristen dan umat non Muslim lainnya.
Kalau Indonesia mau damai, pertama, jangan hanya mencari kambing hitam, menyalahkan FPI, MMI, HTI, JI, dan sebagainya yang dituding sebagai Islam garis keras, Islam fundamentalis. Tapi pemerintah harus bisa menampung aspirasi umat Islam. Memang umat Islam yang mayoritas (silent majority) tidak banyak bersuara sebagaimana minoritas nyaring yang didukung berbagai media massa. Namun boleh jadi, mereka merasa terbela dengan adanya kalangan Islam fundamentalis. Buktinya, polling pembubaran FPI yang dilakukan beberapa pihak antara lain SCTV, menunjukkan hasil yang tak terduga: suara mereka yang menolak FPI dibubarkan lebih besar dari yang setuju.
Yang kedua, umat non Muslim jangan memulai tragedi berdarah seperti di Poso dan Ambon. Namun kalau sudah berani memulai pertikian, maka harus konsekuen menerima segala resiko yang timbul. Jangan pula menantang-nantang umat Islam dengan kedok kebangsaan, kebebasan beragama dan berkeyakinan, seta kebhinekaan dan pluralisme. Umat Islam sangat tahu, bahwa itu semua hanya kedok untuk menutupi hajat memerangi Islam. Naluri memerangi Islam yang ada di dalam diri umat non Islam harus dibuang jauh-jauh. Sebab umat Islam tidak akan pernah takut dengan tantangan umat non Islam.
Masalahnya, umat Islam seringkali berada dalam situasi dilematis. Didiamkan saja, tambah ngelunjak. Kalau disikapi dengan santun, mereka tidak juga mau berhenti menantang-nantang, bahkan terus memprovokasi. Sehingga ketika ilalang kering sudah terbakar, maka yang terjadi adalah anarki. Kalau sudah begini, maka media massa nasional dan internasional pun menjadikannya bahan publikasi memojokkan Islam.
Ketiga, media massa juga jangan menjadi sumber provokasi. Selain harus bersikap profesional dan memenuhi etika jurnalistik, media massa juga jangan sok tahu dalam hal-hal yang berkaitan dengan agama. Kasus pemuatan foto Munarman mencekik anggotanya sendiri, yang oleh Koran Tempo ditulis mencekik anggota AKKBB, menunjukkan bahwa profesionalitas Koran Tempo masih rendah. Bambang Harimurty dan Goenawan Mohamad terbukti tidak profesional, bahkan terkesan emosional.
Provokasi media massa seperti Koran Tempo, Majalah Tempo, Kompas, Media Indonesia, Jawa Pos, Indo Pos, Rakyat Merdeka, Sinar Harapan, Suara Pembaruan dan Seputar Indonesia, yang gemar memuat pemikiran-pemikiran kalangan liberal, sebaiknya dihindari sama sekali. Sejak tahun 1970-an Majalah Tempo, Kompas dan Sinar Harapan sudah menjajakan pemikiran-pemikiran liberal, tentu dengan harapan akan tumbuh budaya pemikiran Islam yang pluralis, sehingga kondusif membangun kedamaian. Kenyataannnya, meski sudah bermilyar kata ditulis Cak Nur dan Gus Dur, konflik horizontal tetap saja terjadi.
Karena, akar masalahnya bukan di situ. Penyebab konflik horizontal bukan karena adanya pemikiran ke-Islam-an yang tekstual, puritan atau fundamentalistis, tetapi karena adanya ketidak adilan yang sudah berlangsung sejak awal kemerdekaan. Jadi media massa jangan sok tahu dengan diagnosanya yang keliru.
Keempat, pemerintah juga harus tegas dan adil, bila kekerasan fisik sebagaimana dilakukan FPI dan Laskar Islam bisa menyebabkan komandannya masuk penjara, maka kekerasan berkedok intelektual juga harus diproses secara hukum. Gus Dur amat sangat sering melakukan kekerasan seperti ini. Begitu juga dengan Syafii Maarif di harian Republika. Kalau Habib Rizieq dan Munarman diproses secara hukum, maka mereka yang namanya tercantum di dalam petisi AKKBB sebagaimana dimuat berbagai media massa, harus juga diproses secara hukum.
Kalau pemerintah tetap saja membiarkan AKKBB bebas dari proses hukum, padahal mereka menjadi penyebab konflik horizontal, ini sama saja dengan menyuburkan potensi radikalisme, anarkisme, fundamentalisme di kalangan masyarakat yang sudah geram.
FPI tidak akan punah selama kondisi yang memungkinkannya eksis tetap terjaga. Pemerintah bisa membubarkan FPI, namun 'FPI' lainnya akan lahir menggantikan. Pemerintah bisa saja mengeliminasi Habib Rizieq atau Baasyir, namun dalam waktu amat singkat akan lahir Rizieq dan Baasyir yang baru.
Yang harus dilakukan pemerintah adalah bersikap tegas. Bubarkan Ahmadiyah, bubarkan JIL, dan aneka kesesatan lainnya. Juga, suruh umat non Islam tutup mulut dan jangan ikut campur persoalan umat Islam. Selama ini mereka terbukti selalu mencari gara-gara, menantang perang dan memprovokasi. Mereka tidak toleran.
Dari insiden Monas, pemerintah seharusnya menjadikan peristiwa itu sebagai pelajaran berharga. Jangan sampai terulang lagi. Kalau yang marah hanya FPI, masih mending, paling yang mereka bawa cuma pentungan. Coba, kalau yang marah dari kalangan JI (Jamaah Islamiyah), berapa banyak lagi kasus peledakan akan terjadi? (bersambung..)
Boleh jadi, kasus Bom Malam Natal 2000, adalah puncak kemarahan umat Islam yang diwakili fundamentalis JI (Jama'ah Islamiyah), sebagai reaksi atas terjadinya kasus Poso dan Ambon, yang intinya merupakan praktek muslim cleansing terencana di dua daerah tersebut. Namun umat Kristen tidak juga mawas diri, mereka terus dengan sikap pongahnya menantang umat Islam.
Terbukti, kini mereka ikut-ikutan menentang pembubaran Ahmadiyah. Padahal, kasus Ahmadiyah adalah murni kasus pelanggaran akidah umat Islam, tidak ada hubungannya dengan akidah umat Kristen dan umat non Muslim lainnya.
Kalau Indonesia mau damai, pertama, jangan hanya mencari kambing hitam, menyalahkan FPI, MMI, HTI, JI, dan sebagainya yang dituding sebagai Islam garis keras, Islam fundamentalis. Tapi pemerintah harus bisa menampung aspirasi umat Islam. Memang umat Islam yang mayoritas (silent majority) tidak banyak bersuara sebagaimana minoritas nyaring yang didukung berbagai media massa. Namun boleh jadi, mereka merasa terbela dengan adanya kalangan Islam fundamentalis. Buktinya, polling pembubaran FPI yang dilakukan beberapa pihak antara lain SCTV, menunjukkan hasil yang tak terduga: suara mereka yang menolak FPI dibubarkan lebih besar dari yang setuju.
Yang kedua, umat non Muslim jangan memulai tragedi berdarah seperti di Poso dan Ambon. Namun kalau sudah berani memulai pertikian, maka harus konsekuen menerima segala resiko yang timbul. Jangan pula menantang-nantang umat Islam dengan kedok kebangsaan, kebebasan beragama dan berkeyakinan, seta kebhinekaan dan pluralisme. Umat Islam sangat tahu, bahwa itu semua hanya kedok untuk menutupi hajat memerangi Islam. Naluri memerangi Islam yang ada di dalam diri umat non Islam harus dibuang jauh-jauh. Sebab umat Islam tidak akan pernah takut dengan tantangan umat non Islam.
Masalahnya, umat Islam seringkali berada dalam situasi dilematis. Didiamkan saja, tambah ngelunjak. Kalau disikapi dengan santun, mereka tidak juga mau berhenti menantang-nantang, bahkan terus memprovokasi. Sehingga ketika ilalang kering sudah terbakar, maka yang terjadi adalah anarki. Kalau sudah begini, maka media massa nasional dan internasional pun menjadikannya bahan publikasi memojokkan Islam.
Ketiga, media massa juga jangan menjadi sumber provokasi. Selain harus bersikap profesional dan memenuhi etika jurnalistik, media massa juga jangan sok tahu dalam hal-hal yang berkaitan dengan agama. Kasus pemuatan foto Munarman mencekik anggotanya sendiri, yang oleh Koran Tempo ditulis mencekik anggota AKKBB, menunjukkan bahwa profesionalitas Koran Tempo masih rendah. Bambang Harimurty dan Goenawan Mohamad terbukti tidak profesional, bahkan terkesan emosional.
Provokasi media massa seperti Koran Tempo, Majalah Tempo, Kompas, Media Indonesia, Jawa Pos, Indo Pos, Rakyat Merdeka, Sinar Harapan, Suara Pembaruan dan Seputar Indonesia, yang gemar memuat pemikiran-pemikiran kalangan liberal, sebaiknya dihindari sama sekali. Sejak tahun 1970-an Majalah Tempo, Kompas dan Sinar Harapan sudah menjajakan pemikiran-pemikiran liberal, tentu dengan harapan akan tumbuh budaya pemikiran Islam yang pluralis, sehingga kondusif membangun kedamaian. Kenyataannnya, meski sudah bermilyar kata ditulis Cak Nur dan Gus Dur, konflik horizontal tetap saja terjadi.
Karena, akar masalahnya bukan di situ. Penyebab konflik horizontal bukan karena adanya pemikiran ke-Islam-an yang tekstual, puritan atau fundamentalistis, tetapi karena adanya ketidak adilan yang sudah berlangsung sejak awal kemerdekaan. Jadi media massa jangan sok tahu dengan diagnosanya yang keliru.
Keempat, pemerintah juga harus tegas dan adil, bila kekerasan fisik sebagaimana dilakukan FPI dan Laskar Islam bisa menyebabkan komandannya masuk penjara, maka kekerasan berkedok intelektual juga harus diproses secara hukum. Gus Dur amat sangat sering melakukan kekerasan seperti ini. Begitu juga dengan Syafii Maarif di harian Republika. Kalau Habib Rizieq dan Munarman diproses secara hukum, maka mereka yang namanya tercantum di dalam petisi AKKBB sebagaimana dimuat berbagai media massa, harus juga diproses secara hukum.
Kalau pemerintah tetap saja membiarkan AKKBB bebas dari proses hukum, padahal mereka menjadi penyebab konflik horizontal, ini sama saja dengan menyuburkan potensi radikalisme, anarkisme, fundamentalisme di kalangan masyarakat yang sudah geram.
FPI tidak akan punah selama kondisi yang memungkinkannya eksis tetap terjaga. Pemerintah bisa membubarkan FPI, namun 'FPI' lainnya akan lahir menggantikan. Pemerintah bisa saja mengeliminasi Habib Rizieq atau Baasyir, namun dalam waktu amat singkat akan lahir Rizieq dan Baasyir yang baru.
Yang harus dilakukan pemerintah adalah bersikap tegas. Bubarkan Ahmadiyah, bubarkan JIL, dan aneka kesesatan lainnya. Juga, suruh umat non Islam tutup mulut dan jangan ikut campur persoalan umat Islam. Selama ini mereka terbukti selalu mencari gara-gara, menantang perang dan memprovokasi. Mereka tidak toleran.
Dari insiden Monas, pemerintah seharusnya menjadikan peristiwa itu sebagai pelajaran berharga. Jangan sampai terulang lagi. Kalau yang marah hanya FPI, masih mending, paling yang mereka bawa cuma pentungan. Coba, kalau yang marah dari kalangan JI (Jamaah Islamiyah), berapa banyak lagi kasus peledakan akan terjadi? (bersambung..)
No comments:
Post a Comment